Pasang Mata dan Telinga Baik-Baik di TPS, Awas Ada yang Curang !
Nasrulloh menambahkan, potensi ini bisa terjadi di satu basis tertentu. "Misal di basis si capres A misalnya. Nah ternyata ya si capres ingin dihambat dengan menerjunkan KPPS dari parpol lain, misal begitu. Di basis capres B begitu, maka orang-orang B disumbat tak diberikan C6 oleh kelompok A," imbuhnya.
Kedua, katanya, patut diwaspadai antrean yang terlalu berlama-lamaan. Bahkan, sengaja ada perdebatan warga dengan penyelenggara sehingga menghambat pemilih yang lain.
"Sengaja terlambat, misal satu pemilih 5-10 menit ini menghambat yang lain. Ini trik-trik yang perlu dikhawatirkan," paparnya.
"Ketiga persoalan pemilih. Beredar baru-baru ini di grup WhatsApp hampir semua peroleh informasi penggunaan e-KTP. Prinsip dasar e-KTP hanyalah sesuai alamat dimana diterbitkan di situlah TPS-nya. Jangan sampai di mana saja pada hari H hanya bawa e-KTP. Beberapa hari lalu muncul info sesat, KPU lagi-lagi capek klarifikasi itu," imbuhnya.
Di kesempatan lain, Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Kaka Suminta mengatakan, berkaca pada banyak kasus kekisruhan di luar negeri, masa kampanye, dan masa tenang, petugas atau Panitia Pemungutan Suara (PPS) diharap mengambil pelajaran.
"Ada kasus kasus Panitia mengirim form C6 sambil menyampaikan pesan-pesan tertentu, ini harus menjadi pembelajaran agar PPS tidak bermain-main, ada dugaan ketidak profesionalan dan konflik kepentingan yang harusnya itu tidak muncul," ujarnya.
Menurutnya, penyelenggara pemilu di Sidney Australia misalnya, memicu kemarahan WNI yang sudah ada di lokasi dan tidak diberi kesempatan.
"Hanya karena antrean lain kemudian disetop, itu kan kaku banget, padahal itu namanya sudah hadir," kata dia.