Pejuang Penyelamat Anak-anak di Lokalisasi Jarak
Barang jualannya ditawarkan kepada para PSK yang masih menunggu atau sudah selesai melayani tamu. Dalam menawarkan barang jualannya, dia sering mengawali dengan dialog. Ketika perbincangan bersambut hangat, Sahal memasukkan pesan-pesan moral agar PSK tersebut menghentikan profesinya.
Permintaan itu tidak diucapkan secara vulgar. Misalnya, Sahal memberi pertanyaan diselingi guyonan tentang sampai kapan akan bekerja sebagai PSK. Tidak jarang, PSK yang diajak ngomong menangis ketika Sahal bercerita. Karena kegetolannya itu, sejumlah PSK berhenti dan pulang ke daerahnya.
Murid Kiai Hamid Pasuruan itu paham betul cara menempatkan diri. Saat mengajar, dia memakai sarung dan berkopiah. Tapi, ketika berjualan, dia memakai celana pendek, berkaus, beranting, dan berkalung.
”Biar mudah diterima. Bayangkan kalau saya jualan pakai kopiah, mungkin saya tidak akan bebas masuk ke wisma,” ucapnya.
Di kawasan Dolly, Sahal dikenal dengan nama Pak Ndut. Namun, sebutan itu berubah ketika identitas Sahal sebagai seorang ustad terkuak. Para PSK memanggilnya dengan sebutan Abah.
Identitas itu diketahui ketika dia diundang mengisi pengajian yang lokasinya tidak jauh dari Gang Dolly.
Sahal dan keluarganya merupakan keluarga pondok pesantren. Keluarga istrinya, Binti Mahmudah, bahkan memiliki Pondok Pesantren Roudlotul Ihsan di Kediri. Tapi, dia lebih memilih tinggal di kawasan merah dan mengajari anak-anak meski dengan keadaan yang sangat terbatas.
”Kalau dihitung secara lahir, jelas kurang. Tapi buktinya, saya tetap bisa hidup sampai sekarang. Tetap mengajar meski apa adanya. Daripada tidak berbuat apa-apa,” tuturnya.