Penghapusan Pasal Larangan TNI Berbisnis Dianggap Kemunduran Reformasi
Selain itu, militer diberikan anggaran yang besar triliunan rupiah untuk belanja alat utama sistem (Alutsista) seperti pesawat tempur, tank, kapal selam, kapal perang, helikopter dan sebagainya yang sepenuhnya ditujukan untuk menyiapkan kapabilitas mereka untuk berperang bukan kemudian berbisnis dan berpolitik.
"Karena itu rencana revisi usulan mencabut larangan berbisnis dalam UU TNI adalah sesuatu yang berbahaya dalam pembangunan profesionalisme militer itu sendiri," ujar Al Araf.
Menurut dia, politik hukum dimasukkannya pasal larangan berbisnis dalam batang tubuh UU TNI adalah karena pengalaman historis masa Orde Baru, di mana tugas dan fungsi militer yang terlibat dalam politik dan bisnis telah mengganggu–bahkan mengacaukan– profesionalisme militer sendiri masa itu.
Dampak lainnya, bahkan hingga mengancam kehidupan demokrasi dan kebebasan sipil. Karena itu, ketika reformasi 1998 bergulir, lanjutnya, militer dikembalikan ke fungsi aslinya untuk pertahanan negara.
"Oleh karena itu DPR dan pemerintah harus segera menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang kontroversial ini karena hanya akan memundurkan jalanya reformasi tubuh TNI," tutur Al Araf.
Dia juga mengatakan bahwa salah satu permasalahan profesionalisme TNI adalah mengenai bisnis keamanan di perusahaan milik swasta dan negara, serta pengamanan proyek-proyek pemerintah.
Penghapusan pasal tersebut menurut Al Araf dapat melegalkan dugaan praktik bisnis keamanan yang selama ini terjadi, khususnya di sektor sumber daya alam.
Pihaknya bahkan menyebut beberapa contoh, seperti pengamanan PT. Freeport Indonesia di Papua, Pengamanan PT. Dairi Prima Mineral di Sumatera Utara, Pengamanan PT. Inexco Jaya Makmur di Sumatera Barat (2018), Pengamanan PT. Duta Palma, Kalimantan Barat (2024).