Penjelasan Panjang Lebar Politikus PKS soal Keburukan UU Cipta Kerja
jpnn.com, JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak penetapan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada pengambilan keputusan tingkat satu atas hasil pembahasan RUU Ciptaker oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR, Sabtu (3/10) malam di Jakarta.
Anggota Baleg DPR FPKS Ledia Hanifa Amaliah yang mewakili fraksinya menyatakan arah dan jangkauan pengaturan dari RUU Ciptaker telah berdampak terhadap lebih dari 78 UU.
Menurut Ledia, FPKS menyadari bahwa substansi pengaturan yang terdapat dalam RUU Ciptaker memiliki implikasi yang luas terhadap praktik kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia.
“Sehingga diperlukan pertimbangan yang mendalam apakah aspek formil dan materil dari undang-undang tersebut sejalan dengan koridor politik hukum kebangsaan yang kita sepakati bersama,” kata Ledia dalam rapat yang dipimpin Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas itu.
Anggota Komisi X DPR ini menyampaikan beberapa catatan FPKS di DPR terhadap RUU Ciptaker. Pertama FPKS memandang pembahasan RUU Ciptaker pada masa pandemi Covid-19 ini menyebabkan terbatasnya akses dan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan, koreksi dan penyempurnaan terhadap RUU.
Ia mengatakan banyaknya materi muatan dalam RUU ini semestinya disikapi dengan kecermatan dan kehati-hatian. Pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang tidak runtut dalam waktu yang pendek menyebabkan ketidakoptimalan dalam pembahasan. “Padahal undang-undang ini akan memberikan dampak luas bagi banyak orang, bagi bangsa ini,” ungkap Ledia.
Ketiga, lanjut Ledia, FPKS memandang RUU Ciptaker ini tidak tepat membaca situasi, tidak akurat dalam diagnosis, dan tak pas dalam menyusun resep. Ia menjelaskan, meski yang sering disebut adalah soal investasi, pada kenyataannya persoalan yang hendak diatur dalam RUU ini bukanlah masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi.
Ia menyebut contoh ketidaktepatan ini adalah formulasi pemberian pesangon yang tidak didasarkan atas analisis yang komprehensif. Hanya melihat pada aspek ketidakberdayaan pengusaha. Tanpa melihat rata-rata lama masa kerja pekerja yang di-PHK. “Sehingga nilai maksimal pesangon itu semestinya tidak menjadi momok bagi pengusaha,” ujar sekretaris FPKS di DPR ini.