Penjelasan tentang Darurat Sipil dan Pembatasan Sosial Berskala Besar, Simak ya
jpnn.com, JAKARTA - Rencana Presiden Jokowi menerapkan status darurat sipil menyertai pembatasan sosial berskala besar untuk mengatasi pandemi virus corona COVID-19, menuai penolakan dari sejumlah kalangan.
Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan pemerintah belum saatnya menetapkan status darurat sipil.
"Optimalisasi penggunaan UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Penanggulangan Bencana. Undang-undang ini masih dapat dilakukan pemerintah dalam penanganan wabah COVID-19," kata perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Anton Aliabbas dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (30/3).
Sebelumnya, dalam rapat terbatas Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintah akan menjalankan kebijakan pembatasan sosial berskala besar dengan physical distancing yang lebih tegas dan disiplin. Bila perlu, didampingi kebijakan darurat sipil.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, Presiden Jokowi harus berpijak pada UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dalam menanggulangi permasalahan wabah COVID-19.
"Hal ini didasarkan pada isu COVID-19 yang merupakan kondisi yang disebabkan oleh bencana penyakit. Selain itu, penerapan pembatasan sosial meluas yang merujuk pada karantina kesehatan perlu dilakukan guna menghindari sekuritisasi problem kesehatan yang tidak perlu," kata Anton.
Menurut Anton, sejak awal pemerintah alpa mematuhi keseluruhan prosedur yang telah diatur dalam UU Penanggulangan Bencana.
Sebelum penetapan masa tanggap darurat nasional, lanjut dia, semestinya Presiden Joko Widodo melakukan penetapan status darurat bencana nasional (Pasal 51 Ayat 2).