Perpres Terorisme Dinilai Bisa Jadi Buah Simalakama Bagi TNI
“Artinya para teroris nanti dibunuh apabila mendapat hukuman pidana mati. Para pelaku teror nanti dibunuh setelah melalui serangkaian proses persidangan atau law enforrcement, bukan dibunuh dalam proses penangkapan,” jelas Soleman.
Masalah kedua, lanjut dia, kerangka criminal justice system yang berpedoman pada KUHAP bukan keahlian TNI sehingga berpotensi bertabrakan dengan Polri. Dan hal itu juga bertentangan dengan dengan Ayat 1 dan Ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menghendaki adanya Military Operation.
“Masalah ketiga, oleh karena TNI bukan ahlinya sebagai penegak hukum, maka dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku. Sehingga TNI akan tertuduh sebagai pelanggar HAM sebagaimana yang diatur oleh UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM,” kata dia.
Melalui revisi UU Pemberantasan Terorisme yang disinkronisasi dengan UU TNI, khususnya Pasal 43 UU Nomor 5 Tahun 2018, Perpres tak diperlukan dalam pelibatan TNI untuk pemberantasan terorisme.
“Kalau saya boleh menyarankan, frasa pada Ayat 3 Pasal 43 I UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang semula berbunyi, ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana pada ayat 1 diatur dalam Peraturan Presiden, diganti dengan, ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana pada Ayat 1 dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI,” kata Soleman.
Soleman menilai hal itu akan membebaskan TNI dari kewajiban untuk membuat Rancangan Perpres yang isinya akan selalu bermasalah. Tanpa Perpres pun, TNI tetap dapat dilibatkan dalam mengatasi terorisme melalui UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. (tan/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?