Persentase Tertinggi Caleg Perempuan Lolos ke Senayan dari Partai Apa?
Menurut Afif, faktor nomor urut memang tidak bisa dimungkiri pengaruhnya terhadap keterpilihan. Sebab, nama di urutan atas memang cenderung mudah dilihat pemilih. Namun, secara umum capaian itu tetap perlu diapresiasi.
Ke depan, tambah pria asal Sidoarjo itu, kebijakan yang sifatnya afirmatif sudah harus menjadi hal yang dipahami semua orang. ’’Tidak lagi ada semacam pengkhususan kebijakan,’’ tambahnya. Target akhirnya adalah keterwakilan perempuan tidak lagi menjadi isu khusus karena perannya sudah dibuat setara.
Direktur Eksekutif Puskapol UI Aditya Perdana memperkuat argumentasi nomor urut tersebut. Berdasar data yang dikumpulkan pihaknya, 48 persen caleg perempuan terpilih adalah mereka yang memperoleh nomor urut 1. ’’Pemilih masih memilih berdasar nomor urut atas,’’ terangnya. Baik di nomor 1, 2, maupun 3.
Selain faktor tersebut, keberhasilan memobilisasi jaringan kekerabatan mampu mendongkrak elektabilitas. Ditambah lagi faktor pengalaman para caleg dalam berkompetisi di berbagai jenis pemilihan.
Baik pileg maupun pilkada. ’’Pengalaman itu mampu membuktikan kemampuan mereka dalam memobilisasi dukungan pemilih.
BACA JUGA: Wagub Pergoki Kepala Dinas di Kedai Kopi saat Jam Kerja
Di luar itu, Puskapol UI juga memprediksi masih ada faktor klientalisme yang digunakan sebagian caleg untuk pemenangan mereka. Bukan hanya caleg perempuan, melainkan juga laki-laki. Aspek klientalisme lebih menonjolkan upaya transaksi material dalam memobilisasi dukungan dalam pemilu.
Kondisi peningkatan keterpilihan, tambah Aditya, juga terjadi di ranah DPD. Berdasar data yang dikumpulkan Puskapol UI, pada pemilu kali ini, 31 persen caleg DPD terpilih adalah perempuan. Naik dari Pemilu 2014 yang persentasenya 26 persen. (byu/c17/agm)