Perubahan Masa Jabatan Presiden Layak Dikaji Secara Akademik
jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin mengatakan wacana perubahan masa jabatan presiden dalam amendemen UUD 1945 harus dikaji secara akademik.
“Ketika ada wacana ingin satu periode enam tahun, tujuh tahun, delapan tahun, perlu ada tiga periode, ataupun 30 tahun dan sebagainya tentu harus dikaji secara akademik,” kata Ujang dalam diskusi “Bola Liar Amendemen, Masa Jabatan Presiden Diperpanjang?” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (28/11).
Menurut Ujang, reformasi telah mengoreksi jalannya pemerintahan yang dianggap tidak efektif dan terjadi banyak penyalahgunaan. Karena itu, pada era reformasi terjadilah empat kali amendemen konstitusi.
Salah satu pembahasan amendemen itu adalah membatasi kewenangan presiden yang terlalu besar dan luas serta terjadi banyak pelanggaran termasuk korupsi. “Oleh karena itu anggota MPR pada tahun 1999-2002 membatasi (masa jabatan) dengan dua periode itu,” ujarnya.
Akademisi dari Universitas Al Azhar Indonesia itu mengatakan yang menjadi pertanyaan apakah ketika penambahan masa jabatan presiden itu terjadi nanti, bangsa Indonesia sudah siap menerima hal tersebut.
“Apakah nanti presidennya itu mohon maaf ya baik-baikkah, cinta rakyatkah, atau malah nanti bisa terjadi penyalahgunaan wewenang yang luar biasa. Itu harus hati-hati,” kata dia.
Ujang sepakat wacana penambahan masa jabatan presiden dibuka saja. Tidak boleh disumbat dan ditutup karena menjadi diskurus akademik dan publik yang harus tetap berjalan. Namun, ia mengingatkan bahwa perlu kehati-hatian dalam melihat persoalan ini sebelum sampai pada sebuah keputusan.
“Supaya ketika nanti MPR memutuskan itu tidak salah jalan karena kewenangan yang begitu panjang, begitu kuat, dan lihat contoh-contoh presiden sebelumnya itu menandakan kekuasaan itu enak,” katanya.