Perubahan Tata Kelola Hutan di Era Presiden Jokowi
jpnn.com, JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mendapat kesempatan menyampaikan berbagai langkah koreksi (corrective measures) kehutanan, pada forum Committee on Forestry (COFO) 2018 di kantor pusat Food and Agriculture Organization of the United Nation (FAO), di Roma, Italia.
Ya. Kebijakan sektor kehutanan mengalami perubahan mendasar di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dan, setelah hampir 15 tahun, ini pertama kalinya Indonesia kembali tampil di organisasi pangan dan pertanian di bawah naungan PBB tersebut.
Indonesia tampil dengan perubahan besar kebijakan kehutanan yang sejalan dengan kebijakan global SDGs (pembangunan berkelanjutan) dan upaya-upaya nyata dalam agenda perubahan iklim.
Menteri Siti mengatakan, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan aktualisasi pemerintahan yang demokratis, dan cukup kuat refleksinya dalam kebijakan sektor kehutanan.
"Serangkaian tindakan korektif telah menunjukkan hasil positif, terutama keberpihakan secara sangat nyata kepada masyarakat banyak. Sekaligus pemerintah telah menjadi simpul negosiasi kepentingan stakeholders kehutanan secara konkret," ungkap Menteri Siti.
Di markas besar FAO, Menteri Siti memaparkan perubahan kebijakan di bidang kehutanan Indonesia dengan tajuk “New Paradigm, New Balance: The State of Indonesia's Forests 2018”. Tema tersebut diangkat dari buku dengan judul sama yang memaparkan tentang kondisi terkini kehutanan Indonesia.
Hadir pada kesempatan ini Deputi Director General FAO, Daniel Gustafson. Duta Besar Norwegia dan Duta Besar Uni Eropa untuk Italia, juga turut memberikan pandangan dan merespon positif perubahan besar sektor kehutanan Indonesia di era Presiden Jokowi.
Pertemuan tersebut dihadiri sekitar 150 orang. Tampak di antara para hadirin, para pakar dan pemerhati kehutanan dunia seperti Prof. John Innes dan Prof. Hosny El Lakany dari Universitas British of Columbia Canada, Gerhard Dieterle Direktur Eksekutif ITTO, dan Juergen Blaser, ahli kehutanan internasional dan perubahan iklim dari Swiss, serta Dr. Efransjah dari Indonesia sebagai moderator.