Pesantren Teroris
Oleh: Dhimam Abror DjuraidJK memprotes cara pandang polisi itu. Menurut JK cara pandang seperti itu keliru. JK mengatakan tidak pernah ada masjid yang menjadi sumber gerakan radikal seperti terorisme. Para ustaz yang memberi ceramah di masjid tidak memprovokasi jemaah untuk melawan pemerintah.
Para ustaz itu menjalankan fungsi dakwah ‘’amar ma’ruf nahi munkar’’, memerintah kepada kebaikan dan mencegah keburukan.
Dua kasus itu menunjukkan bahwa cara pandang otoritas keamanan Indonesia terhadap masalah terorisme masih sangat jadul. Melihat masjid dan pesantren sebagai sumber terorisme adalah cara pandang ‘’old-fashioned’’ yang sudah ketinggalan zaman.
Cara pandang semacam itu diterapkan oleh Soeharto sepanjang masa kekuasaan Orde Baru. Ketika itu Soeharto mengontrol masjid dan pesantren untuk mencegah radikalisme dan terorisme.
Soeharto, melalui gerakan intelijen yang dipimpin oleh Ali Moertopo, menciptakan organisasi-organisasi ‘’psedo-terorisme’’ untuk menjaring orang-orang yang dicurigai.
Organisasi Komando Jihad disebut-sebut sebagai organisasi jaringan teroris yang bakal melakukan makar terhadap kekuasaan Soeharto. Kenyataannya organisasi itu adalah buatan intelijen yang menyusup ke dalam gerakan para aktivis Islam untuk melakukan penghancuran dari dalam.
Setelah isu Komando Jihad meluas pada 1971 operasi penangkapan besar-besaran pun dilakukan. Siapa saja yang dicurigai sebagai bagian dari gerakan Islam yang kritis akan diringkus dengan berbagai macam rekayasa.
H. Ismail Pranoto--terkenal dengan sebutan Hispran--yang dianggap sebagai tokoh sentral Komando Jihad, mempunyai hubungan yang erat dengan intelijen dan Ali Moertopo.