Pidana Mati Dalam KUHP
Oleh I Wayan Sudirta - Anggota Komisi III DPR RIRUU KUHP pada saat itu memang telah memberi jalan tengah bagi dua kaum tersebut, yakni pihak yang setuju bahwa hukuman mati harus tetap diatur (retentionis) dan pihak yang menolak sepenuhnya hukuman mati (abolis) dengan pengaturan pidana mati bersyarat (conditional).
Pembahasan terkait pidana mati ini boleh dikatakan cukup panjang dan melalui pendalaman dan pengayaan materi oleh Panitia Kerja (Panja) bersama Tim Ahli Pemerintah pada saat itu.
KUHP yang ada saat ini lebih mengedepankan semangat demokratisasi sehingga mengandung penghormatan kepada nilai-nilai Hak Asasi Manusia maupun Prinsip Hukum Umum dengan mengedepankan prinsip atau filosofi restoratif dan re-integrasi sosial.
Filosofi Pengaturan Pidana Mati
Sejarah dan perkembangan sistem pemidanaan di dunia saat ini telah mengalami reorientasi, terutama sejak diakui dan ditandatanganinya Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia, Universal Declaration of Human Rights, yang mengubah persepsi dunia mengenai penghormatan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Pengaturan mengenai perlakuan terhadap seseorang yang didasarkan pada terpenuhinya hak-hak seseorang sebagai manusia yang perlu dijamin tercantum dalam Deklarasi PBB.
Kemudian diikuti dengan pengaturan-pengaturan lainnya seperti International Covenant on Political Rights, Convention Against Torture, Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, dan berbagai pengaturan-pengaturan dalam Perjanjian Internasional, Traktat, maupun Hukum Nasional negara-negara peserta PBB.
Pengakuan atas HAM ini menjadi dasar bagi negara-negara dalam memberlakuan suatu aturan hukum dan menjadi hal utama dalam Prinsip Umum dalam sumber hukum yang harus ada dalam setiap aturan.