Pidana Mati Dalam KUHP
Oleh I Wayan Sudirta - Anggota Komisi III DPR RIjpnn.com - Belakangan ini, pembahasan mengenai pidana mati dalam hukum pidana di Indonesia kembali terjadi. Putusan pidana mati pada kasus Irjen FS oleh Majelis Hakim mengakibatkan pro dan kontra di masyarakat.
Banyak masyarakat yang menilai bahwa putusan tersebut telah tepat, sebagian masyarakat menilai bahwa putusan pidana mati sudah tidak lagi relevan karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Terdapat pula diskusi terkait pendapat beberapa pihak yang mempertanyakan terkait implementasi atau eksekusi pidana mati FS di bawah rezim KUHP baru, dimana dimungkinkan untuk diubah.
Namun apapun pendapat yang boleh saja dikemukakan oleh semua pihak, pada saatnya tentu akan bergantung pada putusan akhir Lembaga Peradilan dan tentunya kewenangan Pemerintah dalam tindak lanjutnya.
FS masih memiliki waktu dalam menempuh upaya hukum dan berhak untuk melakukan segala upaya dalam mencari keadilan bagi dirinya.
Dalam sejarah pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pidana mati ini sebenarnya menjadi salah satu hal krusial karena mengandung pro dan kontra pada saat pembahasan maupun masukan yang diterima DPR.
Komisi III DPR RI dan Pemerintah pada saat itu, menerima banyak penolakan terkait dengan pemberlakuan pidana mati sebagai sanksi pidana yang masih ada dalam RUU KUHP (pada saat itu masih rancangan undang-undang), terutama dari lembaga swadaya masyarakat atau lembaga bantuan hukum masyarakat; maupun masukan dari dunia internasional.
Demikian pula, beberapa masukan dari pihak masyarakat terhadap pemberlakuan hukuman mati yang perlu ada untuk memberikan efek jera, terutama dalam pemidanaan terhadap tindak pidana khusus seperti tindak pidana HAM Berat, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, dan terhadap Bandar Narkoba.