Politik Uang: Rp 100 Ribu, Beras 2 Kilogram, dan Gula
Terutama dari mereka yang menyebut dirinya bersih dan gerah dengan adanya praktik politik uang. “Dasar dan prosedurnya sudah kuat. Tapi output-nya masih lemah. Ini harus diperbaiki,” katanya.
Politik uang secara luas disebut menjadi bagian dari teori konspirasi. Dalam kondisi tertentu diakui sebagai fakta. Namun, karena perlu dibuktikan, membuatnya sering hanya muncul sebagai isu semata. “Ada tapi tak bisa ditunjukkan,” imbuhnya.
Ada tiga faktor yang selama ini digunakan calon legislatif (caleg) untuk meraih suara. Yakni pandangan objektif dari calon pemilih dan kedekatan secara emosional. Jika dua faktor ini tak ditemukan dari seorang caleg untuk bisa mendongkrak suaranya, muncul praktik transaksional. “Yang transaksional ini yang mencemari dan berbahaya,” katanya.
Mudah membuktikan proses pemilu telah tercemar dengan praktik transaksional atau jual beli suara ini. Piatur menyebut, setelah pemilu akan muncul wakil rakyat yang sebelumnya jarang muncul di daerah pemilihannya namun bisa duduk di kursi legislatif.
“Kok bisa. Tak pernah muncul di publik, tak dikenal sosoknya secara luas, tiba-tiba jadi anggota dewan,” katanya.
Sejak awal dia melihat ada kekurangan dalam proses penyelenggaraan pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) misalnya, sejak awal seharusnya bisa transparan soal kredibilitas dan kapabilitas caleg. Memberikan informasi terbuka kepada calon pemilih siapa calon-calon wakil rakyat yang bertarung di Pemilu 2019.
“Calon pemilih dengan sendirinya bisa menentukan sikap. Karena dia tahu siapa yang datang berkampanye. Punya kemampuan apa. Dan apakah mampu menjadi wakil mereka di gedung dewan,” bebernya.
BACA JUGA: Kasus Romahurmuziy Diprediksi Bikin Tim Jokowi Kehilangan Fokus