Poltak
Oleh: Dhimam Abror DjuraidDia pernah menjadi anggota Golkar semasa Orde Baru dan sempat menjadi salah satu pengacara Soeharto.
Di era reformasi, ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden pada 2004 Ruhut meloncat ke Partai Demokrat. Setelah SBY lengser, Ruhut pun meloncat ke partai penguasa, PDIP.
Sebagai etnis Batak, Ruhut punya pengalaman terhadap kebhinekaan. Dia pernah menikah dengan perempuan Jawa sehingga punya pengalaman langsung mengenai budaya Jawa. Ruhut tentu paham bahwa etnisitas yang beragam di Indonesia menjadi ingredient utama kebhinekaan yang menjadi tulang panggung NKRI.
Bangsa Indonesia sudah menyepakati konsensus nasional dengan melepas latar belakang etnis dan semua hal yang berbau feodalisme, untuk bersama-sama membangun negara bangsa pada momen kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Negara bangsa dan demokrasi dipilih oleh bangsa Indonesia sebagai entitas dan sistem pemerintahan baru untuk memutus rantai feodalisme penjajahan di masa lalu.
Etnis Jawa adalah mayoritas di Indonesia dengan proporsi hampir 50 persen, sementara etnis Batak jumlahnya sekitar 3,5 persen, termasuk etnis nasional yang kecil bersama dengan entitas-entitas etnis lainnya. Feodalisme melahirkan superioritas satu etnis di atas etnis lainnya.
Suku Jawa yang menjadi mayoritas menganggap dirinya sebagai suku yang lebih berbudi dan lebih beradab dari lainnya. Suku Jawa menganggap dirinya ‘’alus’’ atau halus. Suku Jawa merasa refined, dimurnikan, seperti Pertamax yang lebih murni ketimbang bensin biasa.
Orang Jawa feodal menganggap orang lain kurang alus dan bahkan kasar. Masyarakat di luar orbit Majapahit--sebagai entitas feodal besar ketika itu--disebut sebagai wilayah mancanegara yang diperlakukan sebagai daerah taklukan.