PPRN versi Amelia Yani Klaim Sah
Senin, 20 Februari 2012 – 10:19 WIB
Pejabat yang berwenang menandatangani fatwah Mahkamah Agung RI tersebut merupakan kewenangan mutlak dari Ketua Mahkamah Agung RI. Sesuai investigasi DPP PPRN Amelia Yani di Mahkamah Agung RI, ternyata sebelum diterbitkannya Surat Nomor 68/Td. TUN/X/2011 tertanggal 25 Oktober 2011 tidak pernah ada rapat pimpinan Mahkamah Agung yang khusus membahas hal tersebut dan ternyata surat tersebut juga tidak ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung sebagaimana seharus suatu pendapat hukum atau fatwa dari Mahkamah Agung RI," tegas Aloysius. Dengan demikian, lanjutnya, surat tersebut yang ditandatangani Hakim Agung Paulus Efendy Lotulung selaku Ketua Muda Tata Usaha Negara urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI bukanlah merupakan pendapat hukum atau fatwa Mahkamah Agung RI.
Mengenai pengunduran diri Amelia Yani selaku ketua umum PPRN yang kemudian dijadikan dasar oleh Kubu Made Rahman Marasabesy dan Thomas Ola Langoday untuk mengabsahkan kepengurusan mereka pengadilan negeri Jakarta Selatan dinilai sebagai tindakan sepihak dan tidak merugikan pihak manapun.
Ditegaskan juga sesuai keterangan saksi ahli yang dihadirkan pada perkara kasus gugatan Thomas Ola Langoday terhadap Amelia Yani di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, seorang ketua umum dipilih melalui Munas karena itu ketika mengundurkan diri maka harus melalui munas atau kongres. Pengunduran diri Amelia Yani dalam kasus ini tidak serta merta mempunyai kekuatan hukum yang berlaku. "Berbeda jika Amelia A. Yani adalah anggota partai biasa maka pengunduran diri itu mempunyai kekuatan hukum. Amelia Yani justeru selanjutnya menyelenggarakan munas luar biasa pada tanggal 21- 22 Juli 2011 untuk mempertanggungjawabkan masalah pengunduran dirinya di hadapan 31 Dewan Pimpinan Wilayah dan 264 Dewan Pimpinan Daerah PPRN yang hadir. Semua peserta Munaslub secara bulat meminta Amelia A. Yani untuk tetap menjabat sebagai Ketua Umum PPRN," tegas Aloysius