Prof. Azyumardi: Perlu Gerakan Literasi Keagamaan untuk Mengukuhkan Nilai Budaya Indonesia
Nasir yang menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Sorbonne, Prancis ini menyatakan bahwa organisasi penulis itu sangat penting, seperti upaya yang dilakukan penulis terkemuka, Victor Hugo yang membentuk organisasi penulis pada 1835 dan sampai sekarang organisasi itu masih berperan untuk memperjuangkan nasib para penulis di Eropa.
Menurut Nasir, para penulis Indonesia punya kesempatan untuk maju dan sejahtera dalam ekonomi seperti para penulis Amerika Serikat dan Eropa, karena karya mereka dibaca jutaan orang, dibuat film, dan sebagainya.
“Jadi, potensinya cukup besar. Oleh karena itu, kita harus bersatu menghadapi berbagai kendala profesi penulis di tanah air,” kata Nasir.
Ketua Yayasan Warna-warni, Krisnina Akbar Tandjung yang akrab disapa Nina Akbar mengungkapkan menjadi penulis adalah pengabdian dan memang tidak bisa berharap banyak dari sisi ekonomi, khususnya dari royalti dan penjualan buku.
“Yang penting, bagaimana menjadikan buku sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat. Kalau sudah begitu, kebiasaan membaca otomatis terbangun dan kecerdasan masyarakat meningkat,” kata Nina.
Penulis sejumlah buku di antaranya “Jejak Gula” dan House of Solo” ini sudah sejak lama bergerak dalam dunia literasi dengan menginisiasi berbagai kegiatan seperti yang dilakukan di “Rumah Budaya Kratonan” miliknya yang mempunyai program mencintai sejarah melalui bangunan kuno.
Rumah tradisional Jawa yang terletak di Jalan Manduro Nomor 6, Kartotiyasan, Kratonan, Serengan, Solo itu sudah menghasilkan ratusan alumni yang mengikuti kegiatan literasi dalam bentuk penulisan karya sesuai pengamatan para pelajar atas berbagai unsur sejarah dan budaya.
Sebagai anggota Satupena, Nina Akbar mengakui organisasi ini sangat bermanfaat bagi para penulis, baik sebagai forum silaturahmi maupun upaya memperjuangkan nasib para penulis.