Prostitusi Kelas Atas di Kaltim, Gampang-gampang Susah
“Kalau yang menjual orang dewasa dan korbannya anak di bawah umur itu lebih mudah. Yang kami temukan di Kutai Kartanegara, germonya tidak bisa diapa-apain. Inilah yang membuat nyali ciut anak-anak untuk melapor,” bebernya.
Sebaliknya, kasus dengan mudah diketahui apabila korban mengalami sakit, seperti pendarahan dan dibawa ke rumah sakit. “Untuk yang dengan sadar melakukan kegiatan itu (PSK) maka saya anggap tidak bisa disebut korban. Mereka bisa disebut pelaku tapi juga korban. Tentu bentuk perlakuan hukumannya juga berbeda. Unsurnya beda. Ada yang bisa dibawa ke polisi,” katanya.
Perempuan berkacamata tersebut mengungkapkan, harus ada klasifikasi antara pelaku dan yang memang menjurus sebagai PSK. Jadi, perlakuan hukumnya juga beda. “Meskipun usianya di bawah umur, bisa saja diproses hukum jika mereka pelaku,” katanya.
Dari pengembangan kasus yang dilakukan P2TP2A Kaltim, salah satu penyebab menggeliatnya prostitusi eksklusif karena jeratan hukum yang dianggap ringan. Bagi muncikari, maksimal hukuman yang diberikan “hanya” satu tahun empat bulan. Itu bila mengacu pada Pasal 296 KUHP dan Pasal 506 KUHP.
“Memang masih kurang. Belum memberikan efek jera. Tidak maksimal, apalagi kasus yang melibatkan hubungan sedarah. Harusnya ada maksimal ditambah pemberatan. Perlu ditinjau kembali sanksi hukumnya sehingga ada efek jera,” tuturnya. (riz/zal/k8)