Ramalannya Jitu, Ingatkan Potensi Gempa Selat Sunda
Berdasar pengukuran GPS regional dan tektonik, laju penunjaman lempeng sepanjang palung Aceh-Andaman umumnya tidak lebih dari 30 milimeter per tahun. Dengan demikian, untuk menghasilkan maksimum pergeseran lempeng sebanyak 30 meter, dibutuhkan waktu akumulasi 1.000 tahun.
Namun, untuk menghasilkan pergeseran 10 meter seperti yang diukur pascagempa Aceh 2004 di Pulau Simelue, dibutuhkan waktu 300 tahun.
Karena sebagian besar energi pemampatan tektonik di sepanjang lempeng Aceh-Andaman sudah dilepaskan pada 2004, bisa diprediksi bahwa daerah Aceh-Andaman aman dari bencana gempa dan tsunami dahsyat seperti 2004 paling tidak untuk 300 tahun ke depan.
’’Namun, masih ada kemungkinan terjadi gempa dengan kekuatan magnitude sampai 8 skala Richter,’’ ujarnya.
Danny mengakui, kesadaran masyarakat dan pemerintah terhadap bahaya gempa masih kurang. Itu terlihat dari minimnya jumlah peneliti gempa dan dana yang dialokasikan untuk riset di bidang gempa. Dia menyebut, idealnya pemerintah mengalokasikan sekitar 10 persen dari total anggaran penanganan bencana untuk riset.
Namun, kenyataannya, saat ini anggaran riset hanya nol koma sekian persen. ’’Padahal, kalau mau mitigasi risiko bencana, harus tahu dulu detail bencananya. Nah, untuk tahu detail bencananya, perlu data yang hanya bisa didapat melalui penelitian,’’ terangnya.
Apalagi, Indonesia bisa dibilang sebagai ”supermarket” gempa karena segala jenis gempa ada, mulai tektonik hingga vulkanik. Tidak ada satu wilayah pun di Indonesia yang bebas dari ancaman gempa. Salah satu yang berisiko tinggi adalah wilayah Selat Sunda.
Ramalan tentang potensi terjadinya gempa besar di Selat Sunda memang memicu polemik. Sebab, dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, gempa Selat Sunda bisa mengakibatkan kerusakan di ibu kota, apalagi jika disertai dengan terjangan gelombang tsunami.