RAPBN 2022, Pemulihan dan Keberlanjutan ke Depan
Oleh: MH Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR RIAngkatan kerja kita hingga kini masih 59% lulusan SMP. Sektor pertanian yang menyerap 29,76% tenaga kerja hanya tumbuh kisaran 2-3%, kalah jauh dengan sektor tersier, lebih ironis sebagian besar pangan pokok rakyat ditopang dari impor.
Poin saya, harus ada kaitan sistemik antara upaya membuka investasi, penguatan UMKM sebagai mesin ekonomi, kompatibilitas lapangan kerja dengan postur tenaga kerja, kemandirian pangan dan energi sebagai sektor strategis. Sehingga Indikator keberhasilan program antara K/L harus konvergen, tidak berdiri sendiri, lebih celaka lagi bila antar K/L berjalan sendiri sendiri.
Pemerintah menyadari bahwa respon atas pembesaran defisit fiskal, setidaknya dalam dua tahun anggaran ini berdampak pada membesarnya risiko utang pemerintah, karena membesarnya pembayaran bunga dan Pokok utang. Atas pemahaman itu, pemerintah memandang penting menjaga tingkat utang yang aman dan fiskal yang sehat.
Membesarnya belanja utang dua tahun terakhir ini memang anomali, utang lebih dominan untuk konsumsi. Langkah ini memang pilihan sulit pemerintah, sebab penerimaan perpajakan terkoreksi atas dua hal; skala ekonomi kita menurun, otomatis berakibat pula menurunnya penerimaan perpajakan, kedua, potensi penerimaan pajak terkoreksi karena dialokasikan untuk berbagai insentif pajak.
Sementara belanja pemerintah kian membesar, selain ditujukan sebagai bantalan konsumsi (demand), banyak program program baru yang memang membutuhkan biaya besar seperti penanganan covid19.
Saya berharap pemerintah secara khusus membuat road map kebijakan pembiayaan, khususnya kebijakan utang pemerintah. Road map ini tentu mengacu dari arah pembangunan jangka menengah dan pendek.
Dengan peta ini semua pihak dapat “pegangan” dan bisa menguji secara scientific kebijakan utang yang di tempuh oleh pemerintah, sehingga arena diskursusnya lebih produktif.
Rencana kebijakan utang di tahun 2022 sebesar 43,76-44,29% PDB menurut saya terlalu besar, Kebijakan ini tidak nyambung dengan agenda memperbesar investasi berbekal UU Ciptaker dan LPI, serta kesadaran pemerintah atas makin membesarnya beban bunga dan pokok utang yang menekan ruang fiskal.