Revolusi Kesehatan melalui Strategi Kebudayaan
Oleh: Setyo Budiantoro?Pelarangan iklan juga berpotensi mengurangi defisit perdagangan. Luas lahan pertanian tembakau tidak mengalami perubahan berarti sejak 1995, namun produksi rokok telah meningkat hampir dua kali lipat dari sekitar 180 miliar dan kini lebih dari 300 miliar batang per tahun. Selisih kebutuhan tembakau tersebut diimpor terutama oleh perusahaan rokok besar dan modern yang cenderung padat modal, bukan padat karya. Kini, hampir 1 miliar batang rokok setiap hari dihisap sekitar 70 juta penduduk Indonesia.
Larangan iklan rokok terutama di televisi telah dilarang hampir 50 tahun lalu di negara Eropa Barat. Di Asia, Singapura yang sangat memperhatikan SDM juga melarang di waktu yang sama. Kini semua negara ASEAN telah melarang total iklan rokok terutama di televisi, kecuali Indonesia. Masyarakat, terutama anak-anak, dikepung berbagai iklan rokok di televisi, radio, luar ruang, media cetak dan elektronik yang mencitrakan bahwa rokok adalah simbol setia kawan, cool, keren, jantan, mengikuti jaman dan modis..
Tahun 2009 terjadi salah satu skandal politik terbesar, karena ayat yang menyatakan tembakau sebagai zat adiktif dalam Undang-Undang Kesehatan tiba-tiba hilang ketika akan dijadikan lembaran negara. Implikasinya, zat adiktif tidak diperbolehkan diiklankan. Akibat ketahuan, ayat lalu dikembalikan. Namun iklan rokok tetap bebas, karena kemudian dimoderasi melalui regulasi-regulasi lain. Pengendalian rokok sangatlah sulit di Indonesia karena bisnis yang bernilai fantastis ratusan triliun ini tampaknya memiliki jejaring sosial-politik begitu luas dan lobi sekuat Goliat.
Penutup
Pembangunan manusia secara fundamental melalui sektor kesehatan tidak bisa lain mesti dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan budaya hidup sehat. Namun, untuk mentransformasikan pada budaya sehat sangat diperlukan peran pemerintah melalui kebijakan dan regulasi dengan arah politik kesehatan yang jelas. Kesehatan dengan berbagai turunannya, salah satunya pangan, adalah komoditas ekonomi raksasa yang sangat menggiurkan. Kebijakan dan regulasi adalah pertarungan politik dari berbagai kepentingan. Namun dengan arah politik kesehatan tegas bahwa kepentingan publik yang utama, maka ia seharusnya mampu mengatasi segala kepentingan.
Faktor kepemimpinan dan determinasi sangat diperlukan untuk menjalankan visi kesehatan yang besar dan kini bangsa ini berada di ujung pergantian pemerintahan. Terlepas siapapun yang dipilih, Indonesia membutuhkan menteri kesehatan yang tidak hanya mengurusi orang sakit, namun terutama mencegah supaya orang tidak sakit. Negeri ini juga memerlukan menteri pertanian yang bukan hanya sekedar memastikan kecukupan pangan, namun memastikan pangan tersebut bernutrisi memenuhi gizi bangsa dan sebisa mungkin dari produksi dalam negeri. Menteri terkait informasi dan kebudayaan juga perlu berspektif kuat membangun budaya sehat.
Bangsa ini juga sangat memerlukan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang mempunyai ketegasan memastikan produk yang dikonsumsi masyarakat makanan bernutrisi, sehat dan aman. Selain itu kontrol dari masyarakat juga sangat dibutuhkan melalui lembaga konsumen yang kuat kapasitasnya, bahkan bila perlu mendapatkan fasilitas laboratorium penguji kandungan dan keamanan makanan. Indonesia kini sudah masuk dalam negara pendapatan menengah, problem keterbatasan akses relatif bisa diatasi, termasuk akses pangan, kini fokus kita adalah peningkatan kualitas.
Hal lain yang menjadi kunci adalah determinasi presiden. Setelah mendapat kepastian kemenangan pilpres, sungguh melegakan Presiden Jokowi menegaskan tidak mempunyai beban apapun untuk melakukan hal yang terbaik bagi bangsa. Namun menegakkan politik kesehatan dan menaikkan standar baru kesehatan secara tegas tidaklah mudah, karena berbagai kepentingan besar ada di dalamnya. Presiden Jokowi diharapkan tidak goyah (walk the talk) membangun masa depan, dengan menyelamatkan dua bonus demografi.***