Ribuan Bayi Diguling-gulingkan, Para Pemuda Minta Disuapi
Menurut Bupati Samsu Umar, bagi masyarakat Buton, seni budaya merupakan sarana pemersatu. Meski tinggal di satu pulau, masyarakat Buton terdiri atas banyak suku yang menggunakan empat bahasa ibu. Yakni, bahasa Wuna, Cia-Cia, Tolaki, dan Wolio.
’’Zaman bisa berubah, tapi budaya akan tetap bertahan sampai kapan pun,’’ ujarnya.
Sejak menjabat bupati pada 2012, Umar terus mengampanyekan kebangkitan budaya tua Buton. Perlahan masyarakat diajak menghidupkan kembali budaya-budaya asli tersebut. Hasil ikhtiar itu kini mulai terlihat. Hal tersebut ditandai penyelenggaraan Festival Budaya Tua Buton mulai tahun lalu.
Festival Budaya Tua Buton tahun ini, kata Umar, lebih meriah jika dibandingkan dengan tahun lalu. Masyarakat yang terlibat maupun yang menonton jauh lebih banyak. Apalagi kali ini berbarengan dengan Sail Raja Ampat yang diselenggarakan di Papua Barat, namun jalur pelayaran peserta melewati kawasan Pulau Buton.
’’Sebagian peserta sempat belok, turun ke darat, dan menyaksikan festival Buton,’’ tutur Umar.
Para peserta disuguhi berbagai upacara adat dan diakhiri dengan pergelaran tari kolosal Bentena Butuni yang diikuti 20 ribu penari. ’’Festival ini kami persiapkan untuk menyambut program Visit Buton 2016,’’ lanjut bupati 48 tahun itu.
Masyarakat Buton memang tampak antusias mengikuti festival budaya tua daerahnya. Selama dua hari pelaksanaan festival, warga menyemut di Lapangan Pasarwajo dan Bukit Takawa. Tidak banyak aparat keamanan yang berjaga. Bahkan, pada pergelaran tari kolosal, hanya puluhan petugas kepolisian yang mengamankan jalannya acara.
Umar memastikan Festival Budaya Tua Buton akan rutin digelar setiap tahun. Selain menumbuhkan kesadaran budaya kuno kepada masyarakat Buton, festival tersebut bisa dijual sebagai potensi pariwisata. Otomatis, wisatawan dalam negeri dan mancanegara bisa tertarik untuk berkunjung ke pulau penghasil aspal itu.