Ritual Adat Suku Badui, Ungkap Peringatan dari Leluhur
Ritual Seba Badui merupakan acara tahunan yang wajib digelar setelah masyarakat yang mendiami kaki Pegunungan Kendeng di Desa Kanekes itu melakukan tradisi Kawalu dan Ngalaksa. Salah satu ritual Kawalu selama tiga bulan itu adalah berpuasa serta berdoa meminta keselamatan bangsa dan negara.
Sedangkan Ngalaksa adalah membuat laksa, sejenis makanan olahan berbentuk seperti mi dari tepung beras. Laksa itu pula yang menjadi salah satu oleh-oleh yang diberikan kepada kepala daerah yang mereka sebut Bapa Gede saat Seba.
Seba yang secara mudah diartikan sebagai silaturahmi atau bertamu sebenarnya bukan hanya bertemu kepala daerah. Tapi, termasuk camat Leuwidamar dan anggota musyawarah pimpinan kecamatan dari unsur TNI dan Polri juga ditemui.
Ketua Pelaksana Seba Badui Ari Kuncoro yang juga menjabat kepala urusan umum Desa Kanekes menuturkan, yang mendatangi camat Leuwidamar memang hanya perwakilan tokoh masyarakat. Mulai Jaro Pamarintah Saija hingga Baris Kolot (tetua adat).
”Yang dibawa mulai beras, pisang, gula aren, dan laksa. Kalau durian tidak termasuk karena tidak selalu musim,” ujar pria yang berasal dari Gunung Kidul tapi menikah dengan perempuan Badui pada 2008 itu.
Sebagian besar warga Badui yang turut dalam ritual Seba berangkat langsung ke Lebak. Warga Badui Luar memang tidak punya keharusan berjalan kaki menuju kota. Mereka diberangkatkan dengan 80 kendaraan, mulai truk, bus, minibus, pikap, hingga mobil pribadi. Jumlah peserta Seba Badui mencapai 1.388 orang dari 12 ribu total warga Kanekes. Semuanya lelaki. Sebab, perempuan tidak diperkenankan untuk turut dalam ritual adat itu.
”Kami berangkat setelah jumatan supaya tidak mengganggu warga muslim. Untuk saling menghormati,” ujar Ari. Pertimbangannya, jumlah kendaraan yang cukup banyak.
Sedangkan warga Badui Dalam yang berjumlah 47 orang memang berangkat Kamis sore untuk bermalam terlebih dahulu di rumah kepala desa. Jumat pagi mereka melanjutkan perjalanan menembus hutan dan kebun menuju Lebak.