Ritual Adat Suku Badui, Ungkap Peringatan dari Leluhur
Saat bertemu Gubernur Banten Wahidin Halim itu, dia menyampaikan Desa Kanekes punya tanah di Perda Hak Ulayat Tanah Adat seluas 5.368 hektare. Tiga ribu hektare di antaranya adalah tanah pelindung alam yang harus dijaga dan dilestarikan.
”Gunung tidak boleh dilebur, Lebak tidak boleh dirusak, sesaka (pusaka) tak boleh diubah,” kata Jaro Saija. Bila tiga hal itu dilanggar, dikhawatirkan bisa memicu terjadi bencana alam seperti tanah longsor, gempa bumi, topan, dan tsunami.
Masyarakat Badui juga sudah melakukan upacara ritual di Gunung Sanghiyang Siaran di Ujung Kulon, Gunung Honje, Gunung Kembang, Gunung Madur, Gunung Gang Panjang, dan Gunung Wongkok. Sedangkan untuk merawat sesaka, mereka sudah memeriksa kondisi pusaka yang tersimpan tak jauh dari Masjid Lama Banten. Itu juga bagian dari ritual Seba.
”Kami ada peringatan dari leluhur dan karuhun pada 2018 itu kekhawatiran ada tsunami di selatan. Keduanya di Anyer. Kami mudah-mudahan, berdoa, supaya jangan sampai terjadi,” kata dia. Selama sambutan itu, seluruh warga Badui terlihat duduk diam menyimak. Hampir tak ada kata-kata atau obrolan meski ada yang duduk di bagian belakang.
Wahidin Halim memberikan apresiasinya terhadap ritual Seba Badui sebagai bentuk kearifan lokal yang harus dilestarikan. Dia berjanji tidak akan mengubah kawasan tempat tinggal warga Badui. ”Cara Bapak dalam hidup, membangun ekonomi, beradat istiadat, dan mempertahankan tradisi itu suatu yang sangat dihargai oleh pemerintah,” ungkap dia. Ritual itu diakhiri dengan doa dan penyerahan gunungan wayang. Malam itu ada hiburan wayang golek semalam suntuk.
Siang harinya, warga Badui yang disambut kedatangannya juga sudah diberi hiburan di Alun-Alun Serang. Mereka disuguhi penampilan dari daerah lain di Banten, mulai Cisadane, Banten Lama, Anyer-Carita, Tanjung Lesung, Sawarna, hingga Taman Nasional Ujung Kulon.
Menjelang petang, orang Badui yang baru pertama mengikuti Seba harus mandi di Sungai Cibanten di belakang Museum Negeri Banten. Minimal mereka harus meneteskan air sungai itu ke pelupuk mata dan membasuh kaki.
Anak-anak muda berusia belasan tahun, termasuk Haja, juga mengikuti ritual tersebut. Sungai di selatan museum itu dipisahkan tembok berpintu kecil yang khusus untuk mengakses sungai tersebut.