Rizal Ramli: Ini yang Kami Sebut Demokrasi Kriminal
jpnn.com, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatannya terhadap aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential treshold, hanya akan melestarikan demokrasi kriminal.
Pasalnya, siapa pun yang ingin memimpin negeri ini harus membayar "upeti" lebih dulu kepada parpol penguasa agar bisa dicalonkan.
"Yang menikmati presidential treshold hanya 9 parpol besar, karena ada kewajiban 20 persen (jumlah kursi di Dewan) untuk (mencalonkan diri) menjadi bupati dan presiden. Jadi kalau ada yang mau jadi bupati ya mesti menyewa partai dulu," ujarnya di kanal YouTube Karni Ilyas Club.
Karenanya dana yang dikeluarkan agar bisa dicalonkan menjadi bupati, gubernur apalagi presiden, sedemikian besar mulai puluhan miliar hingga triliunan rupiah. Itu hanya untuk mendapatkan dukungan parpol, belum dana kampanye dan lainnya.
"Bupati biayanya bisa Rp20 miliar hingga Rp30 miliar untuk parpolnya saja. Untuk gubernur sekitar Rp100 miliar hingga Rp300 miliar, untuk presiden bisa sampai Rp 1 triliun. Ini yang kami sebut demokrasi kriminal," ungkap Rizal.
"Ini yang kita lawan dulu di zaman orde baru, kita tidak mau sistem demokratsi otoriter tapi belakangan sistem kita jadi demokrasi kriminal. Parpol besar tidak tertarik mengubah, karena diuntungkan sistem ini," tambahnya lagi.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan ambang batas pencalonan presiden yang diajukan oleh Rizal Ramli.
Hakim MK Arief Hidayat mengatakan Rizal Ramli tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan soal ambang batas pencalonan presiden ini.