Rolling Stones
Dhimam Abror DjuraidDia telah mati ketika karyanya menyebar ke publik. Karya itu bisa diterjemahkan apa saja, dan sang author tidak akan bisa melakukan apa pun untuk mencegahnya.
Karena itu, tafsir polisi atau petugas Pol PP yang menganggap pria Not Found itu sebagai Jokowi adalah sah. Juga kalau petugas menafsirkan pria beserban itu adalah Ngabalin, tafsir itu sah juga.
Sebaliknya, sang author tentu mempunyai maksud tersendiri dengan depiksi, penggambaran mural itu. Kalau sang author mengatakan bahwa gambar itu bukan Jokowi dan bukan Ngabalin, maka polisi tidak boleh memaksanya untuk mengakui bahwa itu gambar Jokowi dan Ngabalin.
Dalam kasus mural beserban, publik sudah telanjur menginterpretasikan bahwa sosok beserban itu adalah Ngabalin. Beberapa pakar juga sepakat mengasosiasikan gambar itu sebagai Ngabalin. Dan, Ngabalin sendiri mengatakan bahwa dia tidak marah atau tersinggung oleh mural itu. Ngabalin juga mengaku tidak marah oleh gelar ‘’Raja Penjilat’’.
Kalau memang begitu, tentu sikap Ngabalin ini patut diapresiasi. Ia tidak tersinggung karena menjadi objek kritik. Ia mengaku bahwa meskipun dijuluki sebagai Raja Penjilat ia tidak marah, karena penjilatannya itu dilakukan demi pengabdian kepada bangsa dan negara.
Logika dan retorika Ngabalin kali ini tidak perlu dipermasalahkan. Tidak perlu dipertanyakan bagaimana logika antara menjilat dan mengabdi kepada negara. Dengan menerima kritik mural itu Ngabalin sudah menunjukkan kemajuan sikap yang luar biasa.
Ngabalin selama ini dikenal punya ‘’sharp tongue’’ lidah yang tajam. Setiap ada pengkritik kebijakan pemerintah dia langsung menyambar dengan komentar tajam.
Tidak jarang dia melakukan ‘’ad hominem’’ menyerang pribadi. Seorang pengkritik disikat Ngabalin karena masih membujang dalam usia yang sudah matang. Ini serangan ad hominem khas Ngabalin.