RPP Kesehatan Dinilai Diskriminatif Terhadap Ekosistem Tembakau
“Dengan restriktifnya peraturan yang saat ini tengah disusun, pemerintah perlu menyadari bahwa hal ini akan merusak keseimbangan yang ada. Sangat mungkin upaya pengendalian konsumsi produk tembakau yang ingin dicapai malah tidak berjalan efektif, namun malah akan mendukung maraknya peredaran rokok illegal yang saat ini sudah cukup tinggi,” ujar Henry.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea dan Cukai Nirwala Dwi Heryanto yang turut hadir secara daring dalam acara ini menyampaikan bahwa dalam penyusunan RPP ini, sinergi antar kementerian adalah hal yang utama.
“Dalam pembahasan aturan pengendalian, ada 2 instrumen yang digunakan yaitu instrumen non-fiskal, dan fiskal. Untuk mengahasilkan peraturan yang tepat, diperlukan kolaborasi antar kementerian terkait. Dalam hal RPP ini, sangat dibutuhkan sinkronisasi antara apa yang diatur dalam RPP dengan UU cukai yang sudah ada, agar tidak terjadi tumpang tindih,” katanya.
Nirwala juga mengatakan sebelum menciptakan peraturan baru seperti RPP terkait zat adiktif produk tembakau ini, sebaiknya dipertanyakan mengenai aturan yang sudah ada sebelumnya, yaitu PP 109 tahun 2012.
“Apakah benar PP 109 perlu direvisi? Apa yang membuatnya perlu direvisi, apakah dari sisi substansi atau dari sisi implementasi? Sebagai contoh, mengenai aturan kemasan yang terkait erat dengan wacana perluasan peringatan kesehatan 90 persen, apakah ada penelitian bahwa hal tersebut akan menurunkan angka perokok. Lalu mengenai uji nikotin, di mana, siapa dan bagaimana implementasinya,” ujar Nirwala.
Diskusi RPP Kesehatan telah dimulai sejak bulan September dan diperkirakan akan segera ditetapkan.
Hal ini menimbulkan keresahan dan penolakan keras dari ekosistem tembakau mengingat peraturan terkait tembakau yang ada saat ini saja sudah cukup memberatkan dan mengalami penurunan tajam.
Diketahui pada tahun 2007, terdapat 4.669 unit usaha rokok dan pada tahun 2022 hanya tersisa 1.100 unit usaha saja.(fri/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini: