Saatnya Memikirkan Ulang Pendidikan Pariwisata Kita
Oleh: M Hasannudin WahidPadahal, dampak ekonomis hanyalah representasi sederhana dari realitas yang lebih kompleks dari dampak kepariwisataan. Dampak paling esensial dari kepariwisataan adalah keruntuhan sistem pemikiran dan keyakinan masyarakat (ideologi sosial). Dengan kata lain, melalui industri pariwisata, ideologi sosial ditaklukkan oleh ideologi pariwisata.
Sesungguhnya, tulis Antoni Pallicer Mateu (2019), ideologi pariwisata adalah nama lain dari ideologi kelas menengah kontemporer, pengikut kaum borjuis yang lahir pada tahun-tahun awal Revolusi Industri. Mereka ini adalah penganut kapitalisme moderen.
Mereka mengagungkan hak milik, individualisme, kebebasan, kemajuan iptek, kenikmatan dan kenyamanan. Mereka cenderung tak menghargai martabat dan kebudayaan manusia. Mereka juga gemar mengeksploitasi lingkungan alam.
Oleh karena itu, tulis, Mateu, tak mengherankan kalau di pusat industri pariwsata, prostitusi meningkat, ritual adat dan keagamaan didegradasi menjadi selevel atraksi budaya, dan panorama alam serta satwa langka menjadi sebuah tontonan/hiburan.
Peran Pendidikan Pariwisata
Perang ideologi sosial vs pariwisata akan terus terjadi. Siapa pun tak berkuasa untuk mendamaikan. Meski demikian, pendidikan pariwisata dapat mengambil inisiatif dan berperan untuk mengurangi ketegangan di antara keduanya.
Dunia pendidikan pariwisata dapat merintis perannya dengan mengembangkan kurikulum dengan pendekatan filosofis dan sosial.
Sejatinya, para siswa pariwisata adalah calon insan pariwisata yang memiliki ikatan nyata dengan proses budaya dan reproduksi ekonomi melalui bisnis pariwisata. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan pariwisata semestinya meliputi aspek pengetahuan, keterampilan, sosilogi, ilmu budaya, logika dan epistemologi, filsafati moral/etika dan aspek-aspek yang mewakili minat dan kekuatan dari berbagai pemangku kepentingan pariwisata.