Santo Purnama
Oleh Dahlan IskanNamun si wartawan juga tahu watak saya. Kalau ia tidak mau berangkat, saya akan berangkat sendiri.
Saya merasa tanpa tambahan wawancara berita tersebut terasa ada yang 'bolong'. Pembaca akan kecewa kalau 'lubang' itu tidak ditutup.
Si wartawan pun berangkat. Tentu hatinya berat. Tapi ya begitulah jadi wartawan.
Ia berhasil. Saat kembali ke kantor saya tepuki pundaknya. Saya berteriak keras di ruang redaksi itu. "Teman kita berhasil," --agar yang lain ikut bangga padanya.
"Saya harus mengetuk pintu rumahnya lama sekali," katanya sambil senyum penuh kebanggaan.
Kemarin, saat saya mau mewawancari Santo itu, saya ingat kembali wartawan itu. Saya ingat ekspresi wajahnya. Dan body language-nya. Terutama saat dengan berat ia toh berangkat juga. Dan berhasil.
Belum ada ponsel saat itu.
Sekarang sudah enak. Kalaupun saya berhasil mewawancari Santo, tetap kalah dengan wartawan itu.