Sebenarnya, Siapa yang Menikmati Dana Otsus Papua?
jpnn.com, JAKARTA - Jumlah dana Otonomi Khusus (Otsus) yang terus bertambah setiap tahun tidak akan menyelesaikan masalah Papua, jika pengelolaannya masih berantakan seperti beberapa tahun terakhir. Pernyataan ini disampaikan anggota Komisi I DPR RI Sukamta kepada jpnn.com, Rabu (1/1).
Sukamta mengatakan, sejak pengalokasian tambahan Dana Bagi Hasil (DBH) migas, dana Otsus, dan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, totalnya sudah mencapai Rp80 triliun lebih sampai tahun 2019.
"Rata-rata 50-60 persen dana itu memberikan kontribusi terhadap pendapatan APBD dan disertai dengan diskresi penuh dalam pengelolaannya, tetapi itu ternyata tidak berdampak signifikan terhadap perubahan layanan publik dan kesejahteraan masyarakat," kata Sukamta.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyebutkan bahwa efektivitas dana Otsus hingga kini masih rendah, akibat tidak ada rencana strategis yang mengatur perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaannya.
Seharusnya, lanjut legislator asal Yogyakarta ini, dana Otsus Papua meningkatkan belanja daerah dalam mendukung pemberian layanan umum, pembangunan berbagai infrastruktur dasar, serta penyediaan barang dan jasa publik, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
"Namun nyatanya pelayanan publik dan tingkat kesejahteraan masyarakat masih tertinggal bila dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia," tukas Sukamta.
Dia menyebut indikator IPM dan pendapatan per kapita Papua setiap tahun selalu berada di bawah rata-rata IPM dan pendapatan per kapita secara nasional. Sementara tingkat kemiskinan berada di atas rata-rata kemiskinan nasional.
"Maka pengelolaan Otsus harus dievaluasi secara menyeluruh," papar pria lulusan Salford University UK ini.
Sukamta lantas menyinggung soal siapa sebenarnya yang menikmati dana Otsus Papua. Sesuai dengan UU Nomor 21 tahun 2001, katanya, penerimaan DBH Migas Provinsi Papua dan Papua Barat, sekurang-kurangnya 30 persen dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan 15 persen untuk biaya kesehatan dan perbaikan gizi.