Sejumlah Investor Batal Masuk ke Jatim, Apa Penyebabnya?
jpnn.com - SURABAYA - Akhir tahun lalu misalnya, sejumlah investor asing mainan anak berminat untuk menanamkan modal di Jawa Timur, tapi rencana itu kandas. Gara-garanya, besaran UMK (upah minimum kota/kabupaten) di Jatim dianggap terlalu tinggi bagi para investor.
Chief-Wooden Toys Division Indonesian Toy Traders and Manufacturers Association atau Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI), Winata Riangsaputra, mengatakan pada pertengahan Oktober tahun lalu ada beberapa investor mainan dari luar negeri yang menanyakan informasi tentang investasi di Jawa Timur melalui APMI. Antara lain dari Jepang, Hongkong, dan Taiwan.
"Kemudian, mereka melihat kenaikan UMK Jatim yang lebih tinggi dibandingkan dengan DKI Jakarta. Akhirnya, mereka beramai-ramai membatalkan diri dan lebih memilih kawasan lain yang memiliki iklim UMK dan buruh yang kondusif. Kenaikan UMK di Jatim menjadi sesuatu yang menakutkan bagi mereka," ujar dia.
Padahal, kalau mereka benar-benar merealisasikan rencana tersebut bisa membuka lapangan pekerjaan baru. Sebagaimana industri padat karya umumnya yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Winata menyebutkan, industri mainan skala menengah bisa menyerap sekitar 40-400 pekerja. Sedangkan kalau PMA minimal bisa menyerap 1.000-3.000 tenaga kerja.
Di sisi lain, kenaikan UMK membuat daya saing industri mainan Jatim kalah. Sebab ketika upah naik sebesar 25 persen, tapi barang yang dihasilkan tidak bisa naik dengan persentase yang sama.
Kenaikan UMK malah mengerek harga barang mainan. Sumbangan upah terhadap biaya produksi sekitar 35-50 persen. Persentase itu bervariasi bergantung pada industri mainan.
"Akhirnya kami memilih menaikkan harga jual serendah mungkin, ditambah dengan mengurangi margin keuntungan. Sebab kalau naiknya terlalu tinggi, daya beli masyarakat tidak mampu," papar Winata.