Soesilo Toer si Doktor Pemulung Sampah, Mulai Takut Mati (6)
Rumah bersejarah itu tidak terawat. Pintunya tampak kusam. Begitu juga jendela yang didominasi kayu. Lapuk dan reyot. Pintu utama harus diganjal kursi agar bisa tertutup rapat. Seluruh plafon di ruang utama yang menjadi perpustakaan telah jebol.
Di sekitar rumah, terdapat berbagai jenis tanaman. Ada pohon jambu, mengkudu, pisang, pepaya, srikaya, dan aneka buah lain. Namun kondisinya tidak terawat. Tidak pula disiangi. Rerumputan tumbuh liar di samping rumah induk menuju kamar Pram. Tinggi-tinggi lagi. ”Pemerintah sudah berencana membangun rumah itu,’’ tambah Arief.
Rumah itu bersejarah. Sebab Toer bersaudara kecuali Pram lahir dan tinggal di sana. Bahkan neneknya, yang diceritakan Pram dalam novel Gadis Pantai juga sempat tinggal di rumah itu. Turut memasak dan membiayai kehidupan mereka.
”Kalau pagi memasak untuk kami. Kalau sore metani Oemi Sjafaatoen Toer (salah satu kakak Soesilo) di depan rumah. Tahu kan metani? Itu lho cari kutu,” jelas Soes mengajak bercanda.
Pram lahir di rumah lain. Rumah itu hingga saat ini masih ada. Lokasinya tidak jauh dari rumah sekarang. Kendati demikian, Pram besar di rumah yang saat ini ditempati Soesilo sekeluarga.
Sebenarnya, Toer bersaudara itu 10 orang. Mereka lahir dari ibu Oemi Saidah dan bapak Mastoer. Yang pertama lahir sebelum waktunya. Meninggal. Namun, sempat diberi nama Ahmad.
Beberapa tahun kemudian, baru lahir Pramoedya yang ketika mudanya sempat dipangggil Mas Moek oleh adik-adiknya. ”Seharusnya Mas Moek itu anak kedua,” kenangnya.
Setelah Pram, lahir Prawito Toer yang kemudian menjadi Walujadi Toer. Disusul Koenmarjatoen Toer yang kemudian menjadi Ny. Djajoesman, dan Oemi Sjafaatoen Toer yang menjadi Ny. Mashoedi. Setelah itu berturut-turut lahir Koesaisah yang menjadi Ny. Hermanoe Maulana, Koesalah Soesbagyo Toer, Soesilo Toer, Soesetyo Toer, dan Soesanti.