Soesilo Toer si Doktor Pemulung Sampah, Mulai Takut Mati (6)
Begitu berartinya rumah tersebut, Pram pernah berkeinginan merenovasi. Diperbesar juga. Malah akan dibikin tiga tingkat. Nantinya akan dijadikan gedung kebangkitan Kota Blora.
Dia sudah membawa uang Rp 50 juta ke Kota Sate. Namun rencana itu tidak dilanjutkan. Penyebabnya kecil. Hanya perbedaan pendapat di keluarga.
Soes bercerita, waktu itu tanah di samping rumah sudah digali. Dalamnya satu meter, lebar satu meter. Karena musim hujan air kemana-kemana. Salah satu adik Pram marah. ”Bisa roboh rumah ini,” katanya.
”Pram kan memang tidak mau dikritik. Makanya, uang Rp 50 juta itu diambil lagi lalu pulang ke Jakarta,” kenang Soes yang biografinya hendak ditulis oleh peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Saat ini, dari sembilan bersaudara tinggal dua orang. Soes dan kakaknya, Koesaisah Toer. Karena Koesaisah tinggal di Jakarta, maka Soes-lah yang menempati rumah peninggalan orang tuanya. ”Pemkab katanya mau bangun, tetapi sampai sekarang belum juga direalisasi,” tuturnya.
Wakil Bupati Blora Arief Rohman mengaku, Pemkab Blora memang berupaya membangun rumah itu. Pihaknya masih merundingkan usaha melestarikan rumah masa kecil Pramoedya Ananta Toer itu.
”Biar turis atau pengunjung sekalian dapat beristirahat di sana,” kata Arief yang tinggal di lingkungan pesantren ini.
Mendengar ungkapan Arief itu, Soes tersenyum. Hingga kerutan matanya terlihat. Keningnya membentuk garis bergelombang. Sedangkan matanya yang sipit itu semakin menyipit.