Suu Kyi Memang Bukan Mandela, Lebih Peduli Biskuit ketimbang Nyawa Rohingya
jpnn.com - Bukan main cemasnya Brenda Mazibuko. Apartheid memang telah berakhir. Tapi, kebencian dan kesalingcurigaan antara kulit hitam dan putih di Afrika Selatan (Afsel) masih sangat tinggi.
Dalam kondisi gesekan fisik setiap saat bisa terjadi, sang presiden baru, Nelson Mandela, malah menunjukkan dukungan terbuka kepada tim rugbi Afsel. Padahal, Springbooks, demikian julukan tim tersebut, selama ini jadi simbol supremasi kulit putih.
”Anda mempertaruhkan modal politik Anda. Anda mempertaruhkan masa depan Anda sebagai pemimpin,” kata Mazibuko yang bertindak sebagai kepala staf memperingatkan.
Tapi, seperti bisa disaksikan di film Invictus, Mandela merespons kekhawatiran tersebut dengan tenang. ”Hari ketika saya merasa cemas terhadap apa yang kamu katakan itu adalah hari di mana saya tak pantas lagi menjadi pemimpin,” ujar peraih Nobel Perdamaian 1993 yang akrab disapa Madiba itu.
Di hari-hari ketika puluhan ribu etnis Rohingya harus mengungsi karena tak tahan terus-menerus jadi korban kekerasan di kampung halaman sendiri, semua sadar kini, Aung San Suu Kyi ternyata memang bukan Nelson Mandela.
Penasihat negara Myanmar itu ternyata bukan pemimpin yang berani mengambil risiko demi kepentingan yang jauh lebih agung. Untuk bangsanya. Untuk kemanusiaan.
Padahal, sudah lebih dari 400 orang tewas akibat kebrutalan militer Myanmar kepada etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine sejak 25 Agustus. Itu versi pemerintah. Angka sebenarnya di lapangan bisa jauh lebih tinggi lagi.
Itu belum korban pemerkosaan, pembakaran rumah, dan yang harus mengungsi. Itu baru di tahun ini. Belum termasuk korban kekerasan serupa pada 2012. Belum di era 1990-an. Atau 1980-an. Atau 1970-an...