Suu Kyi Memang Bukan Mandela, Lebih Peduli Biskuit ketimbang Nyawa Rohingya
Kini, ketika kekuasaan sudah di tangan, ditandai dengan kemenangan gemilang partainya (Liga Nasional untuk Demokrasi) pada Pemilu 2015, dan kursi penasihat negara, jabatan yang lebih tinggi daripada presiden, mengapa dia melakukan kekejaman yang sama dengan junta dulu? Dengan menolak memberikan ”rumah” kepada Rohingya?
"Dia tak perlu bersuara. Sikapnya sudah jelas, anti-Rohingya,” kata Matthew Smith, juru bicara Fortify Rights, kelompok pemerhati hak asasi manusia yang berbasis di Asia Tenggara.
Menurut Smith, beberapa foto dan status yang diunggah Suu Kyi melalui Facebook pada Minggu (27/8) jadi bukti. Semuanya berupa pembelaan terhadap kebijakan pemerintah di Rakhine.
”Sentimen negatif terhadap para staf PBB yang bergerak di bidang kemanusiaan itu memperkeruh situasi (Myanmar, Red) yang sudah parah,” kata Smith.
Lalu, apa yang melatari sikap Suu Kyi dalam perkara Rohingya? Kekhawatiran atas tekanan dari mayoritas yang bisa membuat suara partainya amblas? Mungkin. Ketakutan atas ketidakstabilan Myanmar jika dia memihak minoritas? Bisa jadi.
Apa pun itu, di hadapan tragedi kemanusiaan, diam semestinya bukan opsi. Sebab, di atas segalanya adalah kemanusiaan. Dan, kemanusiaan semestinya melampaui sekat etnisitas, agama, apalagi kepentingan politik.
Sayang, memang Suu Kyi bukan Mandela yang memilih menyatukan bangsanya, apa pun risikonya. Suu Kyi memilih bersembunyi di ”rumah” yang telah ditemukannya. Tanpa peduli darah terus mengucur di halaman.
Nyaman di rumah yang justru, mengutip lanjutan lirik U2 dalam Walk On, where the hurt is! (AFP/Reuters/BBC/theaustralian/washingtonpost/time/hep/c10/ttg)