Tabligh
Saya pun turun dari mobil. Memastikan apakah di situ pusatnya Jamaah Tabligh. Lalu saya sadar: saya tidak pakai penutup kepala. Padahal mau salat Jumat di tempat ini. Yang semua orang pakai 'topi haji'.
Namun, penjaga gerbang itu menyilakan saya masuk. Seperti tidak menganggap saya aneh. Berarti saya diterima dengan baik di situ. Meski saya pakai celana panjang. Pakai sepatu ket. Tidak berjenggot. Tidak pakai penutup kepala.
Saya sendiri yang merasa sungkan. Saya pun minta izin meninggalkan gerbang itu. Menuju toko kain di depan gerbang. Untuk beli 'topi haji'.
Ternyata toko kain itu tidak jual topi. Juga tidak bisa bahasa Inggris. Pun tidak bisa bahasa Arab. Dengan bahasa isyarat saya utarakan maksud saya: perlu 'topi haji' untuk salat Jumat.
Penjaga toko minta saya menunggu. Dicarikanlah di rak-rak kainnya. Sepertinya ia ingat pernah menyimpan barang yang saya maksud di salah satu rak. Bongkar sana, bongkar sini. Ketemu. Topi haji khas Pakistan.
Saya pun kembali masuk gerbang. Salah seorang menyapa saya dalam bahasa Melayu. Dikira saya dari Malaysia.
Setelah saya jelaskan ia senang. "Saya pernah ke Sumatera," katanya. Masih dalam bahasa Melayu. "Ke Riau, Padang, Lampung," tambahnya.
Ia orang Pakistan asli, tetapi sudah ke mana-mana. Menyebarkan ajaran bagaimana berislam secara Jamaah Tabligh. Yang intinya harus kembali ke kitab suci dan ajaran Nabi Muhammad sesuai dengan aslinya. Termasuk cara berpakaian dan cara salat.