Tak Punya Bank Data, Hanya Andalkan Ingatan
Jumat, 20 Juni 2008 – 10:58 WIB
Gaya menulis obituari Rosihan Anwar yang sudah menelurkan lebih dari 20 buku itu didapat saat belajar di School of Journalism, Columbia University, New York, Amerika Serikat, pada 1954. Selama dua bulan di sana, Rosihan bersama sejumlah editor dari berbagai negara belajar tentang berbagai aspek kewartawanan.
Dalam salah satu sesi, para editor itu diajak berkunjung ke kantor redaksi The New York Times. Di dalam salah satu ruang redaksi, ternyata, ada desk yang khusus mengumpulkan data-data seorang tokoh. Data-data tersebut lalu diolah dalam bentuk obituari jika sang tokoh itu meninggal. ”Saat mereka meninggal, data-data tersebut tinggal mereka cabut untuk diterbitkan,” kata Rosihan.
Dari kunjungan dan dialog dengan pengasuh koran terkemuka di New York itulah, dia paham bahwa obituari adalah salah satu berita penting. Saat seseorang meninggal dunia, lanjut dia, publik perlu diperkenalkan sejarah orang itu. ”Supaya dia tidak dilupakan. Dari situ, saya mulai berpikir itu adalah ide yang bagus,” kenang Rosihan.
Namun, sekembali ke Indonesia, Rosihan malah tidak sempat mempraktikkan ide tersebut. Di harian Pedoman, porsi obituari tidak begitu mendapatkan perhatian. Jika ada tokoh meninggal, korannya hanya menulis berita peristiwa yang pendek. ”Sampai Pedoman diberedel, saya nggak sempat menulis obituari,” ujar Rosihan yang juga dikenal sebagai tokoh film.
Tulisan obituari pertama yang dibuat Rosihan terbit di harian Pos Kota. Menurut suami Siti Zuraida Sanawi tersebut, saat itu dia menulis obituari Menteri Sosial Sudarsono (ayah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono). ”Itu pada tahun 60-an. Saat itu saya menulis obituarinya pendek saja,” tuturnya. Setelah itu, masih ada obituari dua tokoh yang dia tulis di Pos Kota.
Baru saat menjadi wartawan freelance, Rosihan lebih rajin menekuni ”spesialisasi” membuat obituari. Pilihan untuk menulis obituari itu juga memiliki alasan. Di era Orde Baru, kata dia, pandangan politiknya sering beroposisi dengan Soeharto. ”Daripada saya bingung cari bahan untuk menulis politik, ketika itu paling aman menulis obituari,” kata Rosihan.