Titik Nadir Demokrasi Indonesia Pasca-Pilpres 2019
jpnn.com - Oleh: Emild Kadju
Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
Pertarungan dalam kontestasi Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019 seyogianya telah selesai. Berdasarkan pengumuman hasil Pilpres oleh KPU pada 21 Mei dini hari, kubu petahana, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin menjadi pemenang dengan perolehan suara 55,50 persen mengalahkan kubu oposisi, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dengan perolehan suara 45,50 persen.
Namun, fakta membuktikan bahwa hasil resmi yang dirilis lembaga penyelenggara Pemilu tersebut tidak serta-merta menutup cerita panjang tentang kontestasi Pilpres 2019. Polarisasi pasca-Pilpres adalah keniscayaan dari politik antagonisme yang dibangun.
Polarisasi dibangun sejak tahun 2018 bahkan sejak Pilpres 2014, nampaknya masih akan terus berlanjut. Hal ini ditunjukkan melalui beberapa aksi protes pasca-pilpres 17 April oleh massa pendukung kubu oposisi yang menuduh lembaga penyelenggara Pemilu berlaku curang. Bahkan, selang beberapa saat sebelum pengumuman, masih ada kubu yang mengeluarkan pernyataan sikap menolak hasil Pilpres yang berujung pada aksi massa pada 21 Mei malam hingga 22 Mei dini hari oleh para pendukung kubu oposisi.
BACA JUGA: Membangun Kembali Kultur Demokrasi Kita
Bahkan, pasca-penyerahan berkas gugatan BPN Prabowo-Sandi pada 24 Mei, dikabarkan bahwa massa pendukung akan melakukan demonstrasi di depan Mahkamah Konstitusi. Alih-alih menyerahkan sepenuhnya pada konstitusional, massa pendukung lebih memilih jalur represif dengan turun ke jalan. Inilah titik nadir demokrasi Indonesia. Sebuah kebebasan tanpa kendali dan batas-batas konstitusional. Lantas, mau dibawa ke mana demokrasi Indonesia?