Titik Nadir Demokrasi Indonesia Pasca-Pilpres 2019
Dalam konteks demokrasi Indonesia yang berbasis supremasi hukum, ada tiga hal yang bisa ditempuh. Pertama, pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini BPN Prabowo - Sandi perlu menyatakan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi dengan dukungan oleh alat bukti dan saksi yang kuat. Dalam hal ini, kubu BPN telah menyatakan gugatan ke MK pada tanggal 24 Mei sekitar pukul 21.00 WIB disertai 51 bukti berupa link berita dan postingan media sosial.
Kedua, menerima hasil putusan MK. Konsekuensi dari jalur konstitusional yang diambil adalah bahwa BPN dan TKN Jokowi-Amin harus menerima apa pun keputusan MK karena sifat putusan MK adalah mengikat dan memaksa. Bila ternyata BPN atau pun TKN tidak menerima hasil putusan MK, serta masih memobilisasi massa untuk mendelegitimasi hasil putusan MK, maka supremasi hukum sebagai salah satu pilar demokrasi Indonesia akan runtuh.
Ketiga, rekonsiliasi politik. Kedua pemikir disensus menganjurkan agar polarisasi antagonisme antara kubu petahana dan oposisi dialihkan ke agonistik yang memandang lawan politik sebagai adversary melalui rekonsiliasi politik. Di sini juga, kubu yang kalah dalam putusan MK perlu menjadi oposisi yang rasional sekaligus watchdog bagi pemerintahan Indonesia 2019-2024 agar demokrasi indonesia tetap berjalan.
Oleh karena itu, tidak perlu lagi ada aksi lapor-melapor, penjara-memenjara, demo-demoan, dan aktivitas antagonisme lainnya pasca putusan MK. Marilah membangun indonesia secara bersama-sama, karena pasca putusan MK terkait sengketa Pilpres 2019, tidak ada lagi kubu 01 atau 02; yang ada haruslah kubu 03 atau persatuan Indonesia sebagaimana termaktub dalam sila ke-3 Pancasila.(***)