Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Titik Nadir Demokrasi Indonesia Pasca-Pilpres 2019

Senin, 27 Mei 2019 – 18:50 WIB
Titik Nadir Demokrasi Indonesia Pasca-Pilpres 2019 - JPNN.COM
Warga menggunakan hak pilih di Pemilu 2019. Foto/ilustrasi: arsip JPNN.com/Ricardo

Bila melihat situasi Indonesia saat ini, gerakan-gerakan protes terhadap hasil rekap KPU terjadi karena selama masa kampanye, narasi-narasi yang beredar di media sosial dan aplikasi chatting seperti WhatsApp dan telegram selalu dipenuhi oleh narasi-narasi hoaks dan propaganda.

Banyak akun anonim yang kemudian menyebarkan narasi-narasi propaganda untuk menggalang massa demi kepentingan elite politik tertentu. Masyarakat dan para pendukung masing-masing kubu tidak diajarkan untuk menggunakan narasi yang baik dan benar selama masa kampanye politik. Inilah yang kemudian membuat kesadaran berdemokrasi warga negara secara baik dan benar tersingkir. Bukan akal sehat yang dihasilkan, melainkan aksi massa yang diproduksi oleh propaganda politik.

Hal ini kemudian membuat Indonesia yang masih tertatih dalam reformasi, akan mengalami kebablasan dalam freedom of ekspression seperti yang ditunjukkan oleh massa pendukung gerakan kedaulatan rakyat pada unjuk rasa 21 Mei malam hingga 22 Mei 2019, dan mungkin akan terus berlangsung selama beberapa waktu ke depan.

Polarisasi dan Ancaman terhadap Demokrasi Indonesia

Pada 30 Januari 2018, The Economist merilis Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017. Akibat polarisasi antagonisme pada Pilkada DKI 2016, indeks demokrasi Indonesia berada pada posisi 68 dengan kategori "cacat demokrasi”. Tidak dimungkiri bahwa polarisasi dan ketegangan pasca Pilpres 2019 akan membuat indeks demokrasi Indonesia semakin menurun.

Situasi demokrasi Indonesia saat ini sesuai dengan tesis Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau (2000: 108-127). bahwa konsensus bukan kondisi alamiah dari demokrasi. Kontras dengan pandangan para pemikir demokrasi konsensus, Mouffe dan Laclau memandang demokrasi sebagai disensus karena mereka tidak percaya akan kesanggupan sistem politik untuk menciptakan konsensus di hati warga negara.

Laclau dan Mouffe dalam Hegemony and Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politic (1994: 127) berpendapat bahwa masyarakat tidak mungkin dapat mewujud sebagai identitas utuh dan terpadu, karena masyarakat senantiasa berada di arena politik yang dikotomis. Situasi disensus yang digambarkan oleh Mouffe dan Laclau nampak dalam wajah Indonesia saat ini. Alih-alih menerima hasil Pilpres untuk mencapai konsensus, massa justru menolak hasil Pilpres dan tetap menganggap Prabowo sebagai pemenang.

Mouffe dan Laclau mendasarkan konsep demokrasi radikal menggunakan istilah agonistik untuk membelokkan ketegangan yang terjadi dalam disensus, karena dimensi inheren demokrasi adalah Antagonisme. Hal yang bisa dilakukan adalah mengubah Antagonisme jadi agonistik. Antagonisme adalah relasi kawan musuh yang memandang perbedaan sebagai “yang lain” dan harus dimusnahkan. Mouffe dan Laclau melihat bahaya antagonisme dalam demokrasi sehingga mengubahnya relasi kawan-musuh menjadi agonistik atau relasi kawan-lawan. Istilah lawan (adversary) digunakan sebagai pengganti musuh (enemy) dalam pendekatan agonistik.

Strategi kampanye politik sendiri terbagi menjadi dua, yaitu positive campaign dan attacking campaign. Positive campaign biasanya dilakukan dengan cara menciptakan brand image terhadap tokoh tertentu agar tingkat akseptabilitas dan elektabilitasnya mening

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close