Tolong dong Presiden, Berikan Kami Solusi
Wujud literal kepedulian terhadap Meratus yang dicurahkan lewat surat itu beragam. Mulai curhatan hingga permintaan. Ada yang menulisnya dengan kalimat formal. Ada pula surat yang berisi kalimat romantis dan puitis.
Saking antusiasnya, Sri Handriati bahkan sampai menghabiskan tiga lembar kertas. Kepada presiden yang dia kirimi surat, kepala Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Aisyiyah Mawaddah Barabai itu menumpahkan berbagai kekhawatiran dan harapannya.
’’Belum ditambang saja, luapan air dan banjir masih sering terjadi. Apalagi bila ditambang, bagaimana nasib anak cucu kita nantinya?’’ tutur ibu tiga anak itu menceritakan sebagian isi suratnya.
Adapun Helmi menuliskan bagaimana bagi warga HST, Pegunungan Meratus tak sekadar menyajikan keelokan panorama. ’’Tapi sudah bagaikan rumah kedua. Siapa pun pasti tidak rela rumahnya diusik,’’ ucapnya.
Gerakan Save Meratus diawali ketika adanya upaya pertambangan yang dilakukan perusahaan yang memperoleh surat izin menambang batu bara di Pegunungan Meratus. Khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) pada Desember 2017.
Dari sana muncullah rentetan unjuk rasa, kampanye tagar #savemeratus di media sosial, hingga penggalangan tanda tangan untuk petisi penolakan di laman change.org. Semua angkat bicara. Mulai mahasiswa, akademisi, aktivis lingkungan, jurnalis, birokrat, hingga politisi.
Pada 2019 muncul persoalan tambang baru. Datang dari perusahaan tambang yang sebelumnya beroperasi di kabupaten tetangga, yang kemudian ingin meningkatkan kapasitas pertambangan batu bara.
Memang, akhirnya rencana itu terganjal analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang tidak kunjung dikeluarkan Pemerintah Provinsi Kalsel. Tapi, seluruh elemen masyarakat di Kalimantan Selatan, khususnya Kabupaten HST, sepakat bahwa sebelum ada langkah nyata dari pemerintah pusat, sewaktu-waktu pertambangan di kawasan tersebut dikhawatirkan beroperasi.