Tren Kepala Daerah Bermasalah Naik
Kemendagri Usul Pilbup-Pilwali Kembali ke DPRDDjo lantas membeber alasannya. Ketika penndapatan masyarakat sudah tinggi, kata Djo, para calon kepala daerah yang dipilih secara langsung itu bisa mendapatkan permodalan (fund rising) dari masyarakat.
"Istilahnya soft money. Jadi masyarakat yang mendukung calonnya itu galang uang receh, ada yang seribu rupiah, Rp 10 ribu, Rp 50 ribu. Kalau pebisnisnya mungkin dia sumbang Rp 10 juta atau Rp 50 juta dan itu sukarela," ulasnya.
Kondisi di Indonesia berbeda. Para kontestan justru harus mengeluarkan uang karena masyarakatnya juga minta. "Malah di jendela rumahnya dipasang tulisan "di sini menerima serangan fajar". Ditambah lagi tingkat pendidikan masyarakat yang belum baik dan merata. Kalau pendidikannya sudah bagus, ada yang kasih uang malah dia lapor polisi," pikirnya.
Atas dasar itu pemerintah pusat melalui Kemendagri mengusulkan agar pilbup/pilwali dikembalikan melalui mekanisme di DPRD sehingga tidak langsung lagi. Sistem melalui DPRD itu menurutnya lebih sesuai dengan realita masyarakat. "Melalui DPRD ini juga bagian dari demokrasi karena masyarakat diwakili oleh anggota parlemen. Bahkan diizinkan oleh konstitusi kita tertuang dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945," paparnya.
Sedangkan untuk pilgub dan pilpres, pemerintah pusat sepakat untuk tetap dilakukan pemilihan secara langsung. "Sebab kalau pemilihan gubernur kan luas, lokasinya jauh. Beda dengan bupati/kota. Bayangkan, sampai saat ini akibat dari pilkada langsung kabupaten/kota itu sudah memicu konflik; 70 orang meninggal, lebih dari 300 orang luka-luka, sepeda motor dan rumah dibakar, dan ada rakyat harus mengungsi," Djo merinci.
Usul pengembalian pemilihan bupati/walikota ke DPRD itu sedang diupayakan pemerintah pusat dalam pembahasan RUU Pilkada di DPR yang saat ini memasuki sidang tahap akhir.
"Sudah tujuh kali masa sidang belum selesai. Ini kita harapkan di masa sidang terakhir bisa disetujui, diupayakan selesai sebelum akhir tahun ini," harapnya.
Sementara itu, tren kepala daerah bermasalah memang tren. Pada pertengahan September sudah ada 304 gubernur/bupati/walikota yang bermasalah. Angkanya bertambah bila dibandingkan pada Mei 2013 yang tercatat ada 291 pejabat daerah bermasalah. Rinciannya, 156 di antaranya adalah bupati, 46 wakil bupati, 41 walikota, 21 gubernur, 7 wakil gubernur, dan 20 wakil walikota.