Tunggu Ahli
Oleh: Dahlan IskanMaka Fadil menyerahkan foto dari Google itu. "Tolong bangunkan rumah persis di gambar ini," kata Fadil pada tukang tersebut.
Fadil tidak memberi arahan apa pun. Soal fondasi, balok, dan slop diserahkan sepenuhnya pada tukang tersebut. "Saya tidak mengerti apa-apa soal bangunan," katanya.
Maka rumah Fadil dibangun tanpa gambar konstruksi. Ia tidak pernah memikirkan untuk memakai jasa arsitektur. Anggapannya: arsitektur itu mahal.
Tiap hari Fadil menengok orang itu mengerjakan rumahnya. Hanya satu orang itu yang bekerja, ditambah satu pembantu tukang. Empat bulan selesai.
Fadil tidak pernah melakukan koreksi apa pun terhadap karya tukang tersebut. "Saya masih ingat ongkos tukang itu, Rp 100.000/hari. Pembantunya Rp 80.000/hari," katanya. Itu tahun 2017.
Rumah itu dua lantai. Saya tidak berani naik ke lantai atas. Takut roboh. Yang jelas, rumah ini belum lunas. Biaya membangun tadi ia dapat dari kredit bank: Rp 200 juta. "Baru dua tahun lagi lunas," katanya.
Saat gempa terjadi, 21 November jam 13.21, Fadil akan berangkat kerja. Tetapi anak keduanya rewel. Si anak tidak mau sekolah.
Jam sebegitu seharusnya si anak masuk sekolah agama. Lokasi sekolah itu di sebuah rumah ustad yang hanya selisih tiga rumah dari rumah retaknya. Si anak sekolah TK pagi hari, lalu sekolah agama sore hari.