Undang-Undang Pemilu dan Konsolidasi Demokrasi
Karenanya, dibutuhkan ukuran yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan dalam menentukan ET dan PT, sesuai dengan realitas dan kebutuhan penataan politik nasional kekinian.
Ketiga, memperkuat sistem presidensial.Masih berkaitan dengan upaya sebelumnya, penyederhanaan partai tidak dapat terpisahkan dari upaya untuk memperkuat sistem presidendial.Sistem presidensial membutuhkan multi partai sederhana dan stabilitas politik di parlemen agar agenda pembangunan eksekutif dapat berjalan tanpa terganggu dengan gaduhnya perpolitikan nasional.
Namun demikian bukan berarti diperbolehkan untuk kembali ke situasi executive heavy seperti zaman Orde Baru, tetapi lebih kepada mencari bentuk ideal dalam menciptakan keseimbangan (power balance) antara eksekutif dan legislatif.
Karenanya, gagasan penentuan anggota DPR dengan mempertimbangkan jumlah mitra strategis pada eksekutif menjadi menemukan konteksnya dalam penciptaan keseimbangan politik ini.
Keempat. Pendidikan politik masyarakat.Salah satu prasarat berjalannya konsolidasi demokrasi, sebagaimana dipaparkan di atas, adalah adanya perpaduan langkah antara kekuatan political society dan civil society.
Kemunculan civil society sebetulnya diandaikan sebagai kondisi dimana masyarakat memiliki tingkat kesadaran politik yang tinggi sehingga mampu menyalurkan aspirasinya kepada partai politik sebagai kekuatan politik, serta memberikan control terhadap aspirasi yang telah diamanatkan.
Celakanya, di Indonesia civil society justru menjadi semacam kekuatan tersendiri yang seolah “berjarak” dengan masyarakat.Civil society direpresentasikan pada kelembagaan Non Government Organization (NGO) dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang “mewakili” kepentingan masyarakat.
Maka keberadaan civil society dalam makna ini bukan hanya tidak merupakan barisan masyarakat yang tercerahkan, yang seharusnya dapat dimaknai sebagai masyarakat konstituen yang menitipkan aspirasinya kepada partai politik; melainkan menjadi kekuatan lain di antara masyarakat dan partai politik, yang terkadang bahkan berebut klaim “mewakili” dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang sesungguhnya.