Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Dorong Revisi UU Migas, Begini Alasannya
jpnn.com, JAKARTA - Selama ini kerja sama hulu migas dilakukan melalui kontrak kerja sama. Namun menurut Pasal 5 Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, kegiatan usaha migas bumi sekarang dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Jadi terdapat perubahan skema kerja sama hulu migas lewat UU Cipta Kerja ini.
Namun perubahan skema tidak disertai dengan kejelasan tentang kelembagaan yang akan memberikan izin. Hal ini karena klausul tentang SKK Migas maupun BUMN Khusus tidak diatur dalam UU Cipta Kerja.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi PAN Eddy Soeparno menjelaskan perubahan skema kerja sama hulu migas ini makin menegaskan pentingnya kelembagaan perizinan migas dengan payung hukum yang kuat, termasuk revisi Undang-Undang Migas ke depannya.
“Selama ini SKK Migas hanya menggunakan payung hukum Peraturan Presiden (Perpres). Karena itu, kami sampaikan bahwa lembaga pengelola kegiatan hulu migas akan dibahas lebih detail dan komprehensif pada saatnya kelak, termasuk ketika kita membahas Revisi UU No 22 Tahun 2001 atau UU Migas,” kata Eddy di Jakarta, Selasa (13/10).
Eddy juga memastikan perubahan dalam klaster Migas di UU Omnibus Law ini khususnya mengenai peralihan sistem kontrak kerja menjadi perizinan, akan dibahas secara khusus oleh Komisi VII DPR RI dengan mitra kerja terkait.
Komisi VII DPR RI juga akan mencermati Peraturan Pemerintah yang mengatur perihal perizinan usaha ini agar tidak menimbulkan kerancuan pemahaman oleh para pelaku usaha migas.
Terkait wacana revisi UU Migas, Sekjen PAN ini juga menyampaikan bahwa rencana pembahasan perubahan UU Migas rencananya akan dilakukan setelah rampungnya pembahasan RUU EBTKE, yang merupakan prolegnas prioritas di Komisi VII.
“Kami di Komisi VII berpandangan bahwa sudah saatnya kami mengevaluasi kembali UU Migas, agar mampu menjawab tantangan zaman serta menarik investasi besar yang dibutuhkan untuk mengembangkan sektor andalan yang menyerap tenaga kerja yang besar,” ujar Eddy.