Pasar tenaga kerja Australia terus menguat, ditandai dengan turunnya angka pengangguran ke rekor terendah sejak 2008, yaitu 4 persen.

Terakhir kali tingkat pengangguran serendah ini dicapai pada Agustus 2008, dan data Biro Statistik Australia (ABS) tidak pernah mencatat angka yang lebih rendah dari itu sejak tahun 1978.

BACA JUGA: Gereja Brethren, Migran, dan Petani Setempat Hidupkan Kota Kecil di Australia Barat

"Kita perlu kembali ke era 1970-an untuk menemukan tingkat pengangguran yang rendah," kata ekonom dari KPMG, Brendan Rynne.

Pasca Perang Dunia II hingga tahun 1970-an, tingkat pengangguran di Australia biasanya berkisar 2 persen, tetapi angka-angka itu sebelum adanya survei angkatan kerja ABS saat ini.

BACA JUGA: Tiongkok Tuduh Pesawat Pengintai Australia Beroperasi di Laut China Timur

Angka bulanan ABS memperkirakan ada tambahan 77.400 orang yang dipekerjakan pada bulan Februari, sehingga menurunkan tingkat pengangguran dari 4,2 menjadi 4 persen.

Jam kerja melonjak 8,9 persen, pulih dari pandemi COVID-19 yang membuat jam kerja anjlok pada bulan Januari.

BACA JUGA: China Terus Dukung Invasi Rusia, Amerika Lontarkan Ancaman Serius

Namun, kepala statistik ketenagakerjaan ABS, Bjorn Jarvis, menjelaskan efek Omicron masih terlihat jelas saat ini.

"Jumlah pekerja yang tak bekerja selama seminggu penuh karena sakit atau cuti sakit 80 persen lebih tinggi dari yang biasanya di bulan Februari," jelasnya kepada ABC News.

Tingkat pengangguran semu juga berkurang menjadi 6,6 persen, sementara proporsi orang Australia yang bekerja atau mencari pekerjaan naik ke rekor tertinggi 66,4 persen.

"Partisipasi angkatan kerja naik ke rekor tertinggi baru pada Februari," kata Jarvis.

"Peningkatan partisipasi terus berlangsung bagi perempuan, naik 0,2 poin menjadi 62,4 persen pada Februari," ungkapnya.

Menurut Brendan Rynne, tingkat pengangguran yang sangat rendah ini terjadi ketika partisipasi angkatan kerja berada pada titik tertinggi sepanjang masa.

"Artinya tingkat pengangguran tidak hanya turun karena para pekerja menarik diri dari pasar tenaga kerja," jelasnya. Pengusaha kesulitan mencari pekerja

Pengusaha pembuatan produk logam Chris Kenny kepada ABC mengaku kesulitan untuk menemukan pekerja terampil yang cukup untuk mengisi lowongan yang ada.

Bisnisnya yang terletak di Dandenong, pinggiran Kota Melbourne, mulai menerima pekerja baru minggu ini, namun masih ada empat lowongan yang belum terisi.

"Kami sangat membutuhkan pekerja yang ahli menangani lembaran logam dan semua aspek fabrikasi," katanya.

"Ini adalah industri yang sangat kesulitan dalam hal fabrikasi. Manufaktur di Australia secara umum cukup terpukul saat ini," katanya.

"Tantangan kami adalah mencari orang yang memiliki keterampilan fabrikasi yang diperlukan demi mengisi lowongan yang ada," tutur Chris.

Salah satu pekerja, Nathan Meier, mulai bergabung dengan perusahaan Chris pekan ini sebagai fabrikator.

Dalam pekerjaan sebelumnya, Nathan tidak memiliki banyak waktu luang di luar jam kerja normal.

"Pekerjaan saya sebelumnya tidak pernah berakhir. Pukul enam, tujuh, delapan malam saya masih menelepon, juga pada hari Sabtu dan Minggu," keluhnya.

"Saya hanya ingin bekerja, menjadi bagian dari tim, mengerjakan tugas-tugas yang ada dan tidak perlu khawatir lagi menjawab telepon setelah jam kerja," ucapnya. 'Tekanan pada upah'

Chris Kenny menggunakan perusahaan perekrut tenaga kerja, atau pekerja dengan kontrak jangka pendek, untuk memenuhi kebutuhannya.

Dia menyebut tarif untuk jasa seperti ini telah meroket.

"Kami melihat adanya tekanan kenaikan upah, terutama dalam enam bulan terakhir," katanya.

"Misalnya, perekrutan tenaga kerja yang kami gunakan, sudah dua kali lipat tarifnya dalam enam bulan terakhir," ujar Chris.

Kekurangan tenaga kerja dan tekanan kenaikan upah dirasakan oleh seluruh industri di Australia.

Perekrut tenaga kerja Graham Wynn menjelaskan daerah regional seperti Shepparton di Victoria tempat dia tinggal, sedang kesulitan mengisi lowongan kerja yang ada.

"Shepparton sedang kesulitan saat ini untuk pekerja ritel, perhotelan, pertanian, dan segala jenis pekerja kerah biru lainnya," katanya.

"Pekerjaan seperti itu biasanya diisi oleh backpacker atau pemegang visa dari luar negeri, atau para mahasiswa. Kami tidak memiliki mereka selama dua tahun terakhir di Shepparton," ucap Graham.

"Makanya terjadilah kekurangan pekerja sekarang," tambahnya.

Graham mencontohkan salah satu kliennya yaitu perusahaan las, menawarkan gaji lebih banyak demi mendapatkan seorang pekerja.

"Biasanya mereka membayar A$30 (sekitar Rp300 ribu) hingga A$33 (sekitar Rp330 ribu) per jam, sekarang harus A$36 (sekitar Rp360 ribu) atau A$38 (sekitar Rp380 ribu) per jam," katanya.

Ia menyebutkan untuk lowongan staf perusahaan IT sebelumnya membayar sekitar A$60.000 hingga $65.000 (sekitar Rp600 - Rp650 juta) per tahun. Namun lowongan yang sama belum lama ini telah menawarkan gaji A$75.000  (sekitar Rp750 juta) per tahun.

Graham mengatakan pasar kerja belum akan pulih hingga tahun depan, setelah arus pendatang dari luar negeri kembali ke tingkat sebelum pandemi COVID.

"Saya perkirakan memakan waktu setidaknya 18 bulan ke depan untuk mendapatkan pekerja-pekerja yang akan mengisi lowongan yang ada," ujarnya.

Pengamat ekonomi dari CEDA Gabriela D'Souza memperkirakan Pemerintah Australia akan mengembalikan jumlah arus pekerja pendatang dari luar negeri ke angka 235.000 pada tahun 2023/2024.

"Saya menduga bila saat itu terjadi, pasar tenaga kerja akan mulai stabil dan pengusaha tidak akan banyak mengeluhkan kekurangan tenaga kerja," ucapnya.

Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News untuk ABC Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Begini Cara Kabupaten Banjar Mengurangi Angka Pengangguran

Berita Terkait