Tumpukan kayu yang menjadi lokasi kremasi darurat yang diubah menjadi krematorium korban COVID-19 di banyak tempat di New Delhi. (AP)
Amerika Serikat tetap menjadi negara dengan kasus dan kematian terbanyak akibat COVID-19, masing-masing dengan angka lebih dari 32 juta kasus dan 574.000 kematian.
Tetapi karena upaya vaksinasi di Amerika Serikat telah meningkat selama beberapa bulan terakhir, infeksi baru - dan dengan demikian begitu pula angka kematian - akhirnya mulai melambat.
BACA JUGA: Lihat Tuh, Pemudik Dijemput Babinsa dan Bhabinkamtibmas
Bagan berikut menunjukkan bagaimana kematian per juta orang di India telah meningkat hampir mendekati Amerika Serikat. Di India, situasinya semakin parah
Sekarang, India adalah negara yang memiliki jumlah kasus tertinggi kedua, dengan angka hampir 18 juta, dan mencapai rekor 362.960 tambahan kasus baru setiap hari.
BACA JUGA: Lonjakan Kepulangan Pekerja Migran Diprediksi Mei, Doni Monardo Ingatkan Pemprov Jabar
Jumlah kematian juga meningkat dengan cepat, setelah Kementerian Kesehatan India melaporkan rekor 3.293 kematian dalam 24 jam terakhir, yang menyebabkan total kematian di negara itu menjadi lebih dari 200.000.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan India menyumbang 38 persen dari 5,7 juta kasus yang dilaporkan di seluruh dunia minggu lalu.
BACA JUGA: Warning dari Kombes Yusri untuk Penumpang Angkutan Gelap pada Masa Larangan Mudik
Ahli virologi Universitas Queensland, Ian Mackay, mengatakan kematian lebih lanjut pasti akan mengikuti lonjakan kasus, dan hal ini "akan terjadi secara besar-besaran".
"Mereka hanya akan menjadi angka-angka yang tidak biasa kita lihat di mana pun di dunia," katanya.
"Dan itu mungkin akan menjadi puncak gunung es, seperti yang sering terjadi dengan wabah dan epidemi ini, karena tergantung seberapa baik data tersebut dilaporkan." Angka yang sesungguhnya di India mungkin jauh lebih buruk
Para ahli telah lama mengatakan angka yang dilaporkan di India kemungkinan besar kurang dari jumlah tersebut, tetapi sejauh mana perbedaannya juga tidak jelas.
Kepala Petugas Kesehatan Victoria Brett Sutton menulis di akun Twitter-nya bahwa meskipun ada 350.000 kasus harian yang telah dilaporkan awal pekan ini, "angka harian sebenarnya mungkin lebih dari dua juta".
Dr Mackay mengatakan perbedaan itu akan tergantung pada jumlah tes yang dilakukan.
"Ini juga menyangkut banyaknya kasus di wilayah itu, sehingga sangat sulit untuk melacaknya saat jumlah kasusnya tinggi seperti itu," katanya.
"Saya tidak dapat membayangkan betapa sulitnya melacak kasus-kasus itu, penyakit-penyakit itu, penyebarannya ... Anda tidak dapat melakukan pelacakan kontak dalam kondisi seperti itu."
Kurangnya jumlah tes juga berpengaruh pada pencatatan kematian, karena tanpa hasil tes yang positif, mungkin tidak jelas apakah kematian disebabkan oleh COVID-19 atau kondisi lain.
Fakta juga menunjukkan bahwa banyak kematian akan terjadi di luar rumah sakit yang tidak akan dicatat oleh dokter sebagai angka nasional.
Dr Mackay mengatakan tindakan yang diambil untuk memberantas virus di Australia tidak akan berhasil di negara seperti India.
"Saat ini, India mungkin harus berfokus pada vaksinasi rakyatnya sendiri sebanyak mungkin."
Menurut Our World in Data, hanya 8,97 persen dari populasi India, yang jumlahnya hampir 1,4 miliar jiwa, yang telah menerima setidaknya satu dosis vaksin.
Mulai Sabtu, vaksinasi akan dibuka untuk semua orang yang berusia di atas 18 tahun guna membantu mempercepat proses vaksinasi nasional. Sekarang, mari kita lihat Brasil
Data John Hopkins menunjukkan, Brasil merupakan negara dengan jumlah kasus tertinggi ketiga setelah Amerika Serikat dan India, dengan jumlah 14,4 juta kasus.
Namun setelah Amerika Serikat, Brasil adalah negara kedua di dunia dalam jumlah kematian akibat COVID-19.
Pada hari Selasa, menteri kesehatan negara itu melaporkan 3.086 kematian lebih lanjut, sehingga totalnya menjadi lebih dari 395.000.
Jumlah kematian harian di Brasil cenderung menurun seiring dengan peningkatan tren di India, dengan kedua negara mencatat jumlah yang sama setiap hari.
Tetapi Brasil dan India adalah negara yang sangat berbeda. Populasi Brasil hanya 211 juta, yang hanya sebagian kecil dari populasi India.
Untuk membandingkan kedua negara dengan lebih baik, penting untuk melihat jumlah kematian per juta orang akibat COVID-19.
Bagan berikut menunjukkan, Brasil memiliki angka kematian per juta orang yang lebih banyak daripada India, dan bahkan Amerika Serikat, selama periode kematian terburuknya. Mengapa COVID-19 lebih mematikan di Brasil daripada di India?
Dr Mackay mengatakan alasan utamanya adalah waktu lonjakan kasus.
"Brasil memiliki banyak kasus per hari selama beberapa waktu - jauh di atas 60.000 kasus untuk sebagian besar tahun ini - dan India mengalami 300.000 kasus sehari," katanya.
"Itu berarti sangat akut, dan mungkin dalam beberapa minggu angka kematian (di India) akan mengikuti dalam jumlah yang sangat besar, jauh lebih tinggi dari yang kita lihat sekarang.
"Kita sudah melihat kematian dari Brasil karena infeksi yang terjadi sebelumnya. Di India, infeksi tersebut sekarang terjadi secara real time, jadi ada jeda waktu untuk melihat angka kematian."
Dr Mackay mengatakan, meskipun jenis COVID-19 varian Brasil akan turut berperan dalam menyebarkan virus, dia memperingatkan untuk tidak semata-mata menyalahkan varian tersebut sebagai penyebab jumlah kasus yang tinggi.
"Ini tidak selalu hanya tentang varian, ini disebabkan oleh bagaimana langkah-langkah kesehatan masyarakat yang diterapkan untuk perlindungan diri dan mencegah penyebaran dari varian apapun."
Program vaksinasi Brasil juga mengalami penundaan dan menghadapi masalah stok vaksin.
Pada hari Senin, regulator kesehatan Brasil, Anvisa, menolak mengimpor vaksin Sputnik V COVID-19 buatan Rusia yang diminta oleh gubernur negara bagian.
Menurut manajer obat-obatan dan produk biologis Anvisa, Gustavo Mendes, yang menjadi masalah penting bagi Anvisa adalah adanya adenovirus dalam vaksin tersebut, yang dapat menyebabkan cacat "serius".
Dana Investasi Langsung Rusia (RDIF), yang memasarkan vaksin Sputnik V di luar negeri, menyangkal komentar Anvisa, dan mengatakan keamanan dan kemanjuran suntikan telah dinilai oleh regulator di 61 negara yang menyetujui penggunaannya.
Ilmuwan Rusia mengatakan, Sputnik V 97,6 persen efektif melawan COVID-19 dalam penilaian "dunia nyata" berdasarkan data dari 3,8 juta orang, Institut Gamaleya Moskow dan Dana Investasi Langsung Rusia mengatakan pekan lalu.
Regulator Uni Eropa, European Medicines Agency (EMA), saat ini sedang meninjau vaksin dan proses pembuatannya. Keputusan mengenai persetujuan penggunaannya diharapkan akan diketahui pada Mei atau Juni.
Hanya 13 persen populasi Brasil yang telah menerima setidaknya satu dosis vaksin COVID-19. Bagaimana dengan negara-negara lainnya?
Prancis berada dalam 'lockdown' nasional ketiga setelah mengalami lonjakan kematian dan jumlah kasus.
Ada spekulasi bahwa penutupan akan segera dicabut dan Perdana Menteri Jean Castex melangkah lebih jauh setelah mengatakan "gelombang ketiga wabah ini sudah kita tinggalkan" pada konferensi pers.
Turki melakukan 'lockdown' minggu ini dan penduduknya diperkirakan akan tetap tinggal di rumah sampai setidaknya 17 Mei untuk mengekang lonjakan kematian dan infeksi.
"Pada saat Eropa memasuki fase pembukaan kembali, kami perlu segera memangkas jumlah kasus kami menjadi di bawah 5.000 agar tidak ketinggalan. Jika tidak, kami pasti akan membayar ongkos yang mahal di setiap bidang, dari pariwisata hingga perdagangan dan pendidikan," Kata Presiden Tayyip Erdogan.
Di Meksiko, pemerintah mengatakan jumlah kematian di negara itu kemungkinan 60 persen lebih tinggi dari angka yang dikonfirmasi setelah angka terbaru diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan.
Pemerintah Meksiko telah lama mengatakan jumlah sebenarnya kematian COVID-19 kemungkinan jauh lebih tinggi daripada jumlah yang dikonfirmasi karena tingkat tes yang rendah.
Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari .
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiongkok Minta Australia untuk Meninggalkan Mentalitas Perang Dingin