Keriuhan di platform media sosial (medsos) dianggap tidak mencerminkan suara kaum milenial Indonesia secara keseluruhan. Memasuki masa kampanye politik di negara ini, medsos juga dipandang kurang efektif dalam memengaruhi pilihan politik generasi milenial.
Generasi milenial, selama ini, dianggap sebagai kelompok pengguna internet aktif, termasuk medsos. Seringkali, percakapan di medsos ataupun tren yang beredar di medsos dinilai memengaruhi pandangan milenial.
BACA JUGA: Bagaimana Masalah Papua Barat di Dunia Internasional Saat Ini?
Meski demikian, medsos diyakini politisi muda bukanlah wadah yang efektif di dalam melakukan kampanye politik.
Menurut politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Tsamara Amany, untuk merangkul kaum milenial, politisi harus melibatkan mereka dalam pertemuan tatap muka langsung.
BACA JUGA: Gurame Selamat dari Kematian Massal Ikan di Australia
"Dengan kampanye medsos, belum tentu milenial mendukung kita. Jadi kalau ditanya 'apakah medsos bisa memengaruhi milenial untuk memlih?', saya masih ragu," ujar perempuan 22 tahun ini dalam diskusi From Vlogs to Votes di Jakarta (29/1/2019).
Tsamara menjelaskan, untuk mendulang suara milenial, politisi tak mungkin hanya memanfaatkan media sosial.
BACA JUGA: Asia Bibi Dibebaskan di Pakistan Karena Tuduhan Penistaan Agama
"Enggak ada pendekatan paling jitu selain door to door campaign (turun langsung ke lapangan). Kalau dari sisi elektoral, enggak mungkin medsos doang."
Lebih lanjut ia mengatakan, bagi kaum milenial, politik merupakan entitas yang terpisah dengan urusan mereka. External Link: Tsamara
"Isu nomor satu yang menjadi perhatian mereka adalah lapangan pekerjaan," sebut caleg dari daerah pemilihan DKI Jakarta II ini.
Dalam kampanye politik, kata Tsamara, politisi muda seperti dirinya harus mampu menjelaskan kepada kelompok milenial bahwa kekhawatiran mereka termasuk dalam cakupan politik, dan karena itu kampanye politik dengan medsos bukanlah jawaban.
"Setiap akhir pekan saya suka melakukan diskusi dengan kaum milenial, golongan mana saja. Saya bicara isu yang menyangkut anak muda, start up, ekonomi kreatif. Dengan cara seperti ini kita justru bisa bertukar pikiran secara langsung, sesuatu yang tidak bisa dilakukan di medsos," ungkap Tsamara. External Link: Faldo
Pandangan itu juga dibenarkan politisi muda lainnya, Faldo Maldini. Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengatakan, meski kampanye lewat medsos menghemat bujet dan mengakomodasi kondisi keuangan politisi muda, namun cara itu tidak merangkul langsung pemilih.
"Enggak ada dapil Facebook, enggak ada dapil Twitter, enggak ada dapil Instagram. Yang memilih saya itu orang. Mau enggak mau saya harus turun langsung," tegas politisi lulusan Inggris ini dalam kesempatan diskusi yang sama di Jakarta (29/1/2019).
Terlepas dari manfaat medsos dalam urusan kampanye di era digital, bagi Faldo, cara berkampanye konvensional tetap yang terpenting.
"Cara berpolitik tidak berubah, tetap ketemu (bertemu langsung)."
Pakar media dari Universitas Nasional Australia (ANU), Ross Tapsell, mengatakan tidak semua milenial memakai medsos dan medsos sendiri tidak merepresentasikan semua milenial.
Menurutnya, dalam diskusi From Vlogs to Votes (29/1/2019), aktivisme milenial yang terlihat di medsos memiliki pola yang berbeda.
"Untuk saya, yang paling menarik tentang milenial di dalam medsos, yang paling sama di antara milenial di Indonesia, di Malaysia, itu banyak milenial lebih tertarik dengan pekerjaan sebagai buzzer (penggaung, penyebar informasi, agen promosi yang dibayar lewat postingannya)," utara Ross.
Di Indonesia, sebut Ross, aktivisme politik di kalangan milenial menjadi lahan bisnis.
"Mereka lebih mengandalkan keahlian digital. Dan ini beda dengan milenial tahun '97 di mana waktu itu milenial sebagai agen reformasi," jelas penulis buku Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution ini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bahrain Resmi Ajukan Permohonan Ekstradisi Hakeem AlAraibi