Seminggu setelah pengungsi Afghanistan Khalid Amiri mendarat di Melbourne, ia dan ibunya merasakan kebaikan warga Australia di supermarket.
"Kami memiliki kartu voucher, tapi isi uangnya sedikit," kata Amiri.
BACA JUGA: Perempuan di Jepang Mulai Membuka Suara Soal Rendahnya Angka Kelahiran
"Lalu ada pasangan Australia yang bertanya dari mana kami berasal dan saya bilang, 'Kami dari Afghanistan'.
"Mereka bilang, 'Jangan khawatir, silakan ambil apa pun yang Anda butuhkan, isi keranjang belanja Anda. Kami akan bayar semuanya'."
BACA JUGA: Bagaimana Dua Orang Ayah di Australia Memiliki Seorang Anak dari Ibu Pengganti
Sebuah survei baru-baru ini dilakukan terhadap pengungsi Afghanistan, yang melarikan diri setelah Kabul jatuh di tangan Taliban pada tahun 2021.
Survei tersebut menemukan mayoritas pengungsi mendapat pengalaman yang baik dengan orang Australia dan menikmati kehidupan di Australia, namun banyak yang tetap mengkhawatirkan biaya hidup.
BACA JUGA: Menjelang SEA Games 2023, Timnas Basket Indonesia Matangkan Persiapan ke Australia
Biro Statistik Australia melaporkan kenaikan Indeks Harga Konsumen sebesar 7,4 persen dalam 12 bulan hingga Januari dan harga kebutuhan pokok menjadi perhatian terbesar bagi 78 persen responden.
Amiri, yang merupakan salah satu responden survei, mengatakan biaya hidup di Australia sangat mahal bagi keluarganya dan pengungsi lainnya, karena mereka harus "memulai hiudp dari awal" tanpa tabungan yang bisa diandalkan.
Survei, yang dilakukan oleh badan pemukiman pengungsi AMES Australia tersebut bertanya kepada lebih dari 100 pengungsi Afghanistan untuk lebih memahami aspirasi dan pengalaman mereka.
"Hasilnya menunjukkan kepada kita apa yang berjalan baik untuk hidup mereka dan apa masalah mereka," kata juru bicara AMES, Laurie Nowell.
"Ini dapat membantu kami memberikan dukungan dan rujukan."
Pada Agustus 2021 lalu, Amerika Serikat menarik pasukan terakhirnya dari Afghanistan, mengakhiri kehadiran militernya selama dua dekade di negara itu.
Taliban dengan cepat menguasai negara itu, merebut ibu kota pada 15 Agustus.
"Itu adalah perasaan terburuk dalam hidup saya," kata Amiri.
Ia mengkritik Taliban ketika bekerja sebagai presenter berita untuk Radio Televisi Afghanistan.
"Saya harus meninggalkan Afghanistan hanya dengan pakaian yang saya kenakan."
Terlepas dari evakuasi mendadak dari negara asalnya, AMES menemukan 84 persen pengungsi Afghanistan senang hidup di Australia.
Salah satunya adalah Bushra Afrasiabi, yang meninggalkan Afghanistan pada November 2021 untuk mencari kehidupan yang lebih baik bagi anaknya yang berusia 18 bulan.
"Saya tidak merasa kurang dari warganegara Australia. Saya merasa memiliki hak yang sama. Ini membuat saya sangat bahagia. Membuat saya merasa baik," kata Afrasiabi.
Survei tersebut juga menemukan 76 persen pengungsi menilai warga Australia ramah, 67 persen menganggap organisasi pemerintahan telah menolong mereka, dan hanya 3 persen yang mengalami diskriminasi.
"Saya merasa terlibat dalam komunitas Australia. Karena orang-orangnya, pluralisme, dan penerimaan di sini," kata Amiri.Kesulitan mencari rumah
Dari dukungan pemerintah Australia yang diberikan, akomodasi dianggap terpenting oleh 32 persen responden, sementara bantuan pemerintah bernama Centrelink menempati urutan kedua.
Afrasiabi dan Amiri mengatakan mereka kesulitan menemukan perumahan dengan tunjangan Centrelink, apalagi belum memiliki riwayat sewa tempat tinggal di Australia untuk membantu permohonan sewa.
"Menyewa menjadi masalah besar Australia, sampai saya harus mengecek ke 20 rumah sampai dapat, karena kami tidak memiliki riwayat menyewa, dan beberapa orang ragu menyewakan rumahnya kepada para pengungsi," kata Amiri.
"Hal tersulit bagi kami adalah menemukan rumah. Kami tidak memiliki riwayat tinggal di Australia, kami tidak memiliki pekerjaan."
Sejak jatuhnya Kabul, lebih dari 6.000 warga Afghanistan telah dievakuasi ke Australia.
Lebih dari 170.000 telah mengajukan permohonan untuk datang ke Australia di bawah program visa kemanusiaan sejak Agustus 2021.
Seorang juru bicara Departemen Dalam Negeri mengatakan sebagai pengakuan atas krisis tersebut, pemerintah Australia mengalokasikan 6.125 tempat untuk warga negara Afghanistan dalam program kemanusiaan 2022-2023.
Dengan 'status quo' di tanah air mereka, tiga perempat pengungsi mengatakan mereka berniat untuk tinggal di Australia.
Tujuan jangka pendek dan jangka panjang terbesar mereka adalah mencari pekerjaan dan membangun karier.
Amiri mendapat beasiswa dari University of Melbourne untuk melanjutkan pendidikannya hingga mendapat gelar Master Hubungan Internasional.
Sementara itu, Afrasiabi bekerja di lembaga Amnesty International dan ingin menyelesaikan Magister Bantuan Kemanusiaan.
Ia berharap bisa menggunakan pengalamannya sebagai pengungsi untuk membantu orang lain yang berada di posisi yang sama.
Terlepas dari perpisahan yang traumatis dari negara asal dan keluarga mereka, banyak dari pengungsi bersyukur bisa berada Australia, kerena mereka merasa aman dan mendapat dukungan.
"Saya ingat ketika saya berada di Afghanistan setelah pengambilalihan Taliban, saya tidak bisa tidur nyenyak selama dua atau tiga bulan," kata Afrasiabi.
"Setelah kami mendarat di bandara Melbourne, pada malam pertama saya tidur nyenyak. Saya bangun dan berpikir, 'Itu adalah tidur paling nyenyak sepanjang hidup saya'."
Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ratusan Pengungsi Rohingya Tiba di Aceh Setelah Ditawari Tarif Biaya Untuk Perahu