Di tengah pandemi virus corona, Pemerintah Australia menyarankan seluruh warganya di luar negeri untuk pulang. Jurnalis ABC di Jakarta pun dengan berat hati meninggalkan kota yang sudah menjadi "rumah" mereka selama ini.
Berikut penuturan jurnalis Anne Barker yang sudah lebih setahun bertugas di Indonesia:
BACA JUGA: Kabar Bagus dari Pak Yuri soal Jumlah Pasien COVID-19 Sembuh
Ini merupakan keputusan paling menyakitkan yang pernah saya buat.
Sebulan lalu, tak pernah terlintas dalam pikiran saya, atau rekan lainnya di biro ABC di Jakarta, bahwa kami tidak bisa lagi bekerja seperti biasa, melaporkan peristiwa di Indonesia.
BACA JUGA: Anies Baswedan: Kita Harus Bersiap untuk Kondisi yang Lebih Menantang
Bahkan setelah ada dua kasus pertama virus corona yang dikonfirmasi pihak berwenang.
Tapi satu minggu adalah waktu yang terbilang lama dalam situasi pandemi.
BACA JUGA: Update Corona 16 April 2020: Ada Rekor di Kasus Sembuh
Hanya dalam tempo beberapa hari semuanya tiba-tiba berubah.
Dari dua kasus menjadi empat. Dari empat menjadi 19 kasus.
Lalu 30, 96, 227 dan terus meningkat drastis.
Sejumlah pertanyaan muncul di benak saya. Begitu pula yang dikemukakan juru kamera dan produser kami di biro.
Bagaimana jika Indonesia tiba-tiba menjadi seperti Italia atau Iran, yang mengalami ribuan atau puluhan ribu kematian? Photo: Cameraman ABC Phil Hemingway juga sudah kembali ke Australia akibat pandemi virus corona. (ABC News: Anne Barker)
Apa yang akan kami lakukan jika Jakarta ditutup, perbatasan ditutup, penerbangan dikurangi, layanan kesehatan kedodoran?
Pertanyaan-pertanyaan ini kian mendesak, karena ternyata sebagian besar kasus corona terjadi di Jakarta.
Bahkan penyebarannya tak diragukan lagi jauh lebih buruk daripada angka resmi yang diumumkan.
Jakarta yang sudah menjadi rumah kami selama satu setengah tahun terakhir, tiba-tiba terasa penuh kontradiksi.
Saya tetap ingin tinggal. Saya berencana untuk tinggal. Masalahnya, bagaimana?
Tak pernah terpikirkan olehku untuk pergi, apalagi untuk melaporkan berita terbesar di Indonesia, sejak tsunami Aceh atau jatuhnya Suharto 22 tahun silam.
Saya memiliki tanggung jawab untuk tetap di sini. Kantor saya ABC pun memiliki tanggung jawab menyampaikan berita dari sini untuk rakyat Australia.
Beberapa hari kemudian, bukan hanya kami, tapi juga koresponden kantor berita di seluruh dunia menghadapi pertanyaan yang sama.
Manajer saya di Australia menyarankan untuk pulang.
Saya masih bersikukuh, bahwa saya dan pasanganku bisa bertahan dan menyiapkan bahan makanan hingga enam bulan. Saya bisa kerja dari rumah, yang juga sudah saya lakukan untuk beberapa saat. Photo: Anne Barker sebenarnya sudah siap bekerja dari rumah di Jakarta, namun akhirnya harus kembali ke Australia. (ABC News)
Saya bahkan berjanji tidak akan pernah meninggalkan apartemen, jika memang harus demikian.
Tiga bulan. Enam bulan. Tidak ada yang akan masuk ke tempat kami. Saya sepenuhnya akan bekerja dari rumah.
Apalagi, kondisi kesehatan saya baik. Tidak ada masalah dan saya pun jarang sakit.
Peluang saya tertular virus ini sangat kecil.
Namun dalam beberapa hari, situasi pandemi ini mulai terasa.
Ketidakpastian membuat tingkat kecemasan saya melonjak.
Bagaimana jika enam bulan tidak cukup? Bagaimana jika kami harus keluar untuk membeli bahan makanan lebih banyak dan akhirnya terpapar virus?
Apakah keyakinan saya jika salah seorang dari kami tidak akan memerlukan perawatan rumah sakit, cukup beralasan?
Bagaimana jika kepanikan berbelanja membuat toko-toko kosong dan puluhan juta warga Indonesia tidak bisa mendapatkan makanan?
Apakah Jakarta akan mengalami penjarahan, atau kerusuhan, serta kekacauan?
Semua kekhawatiran ini menghadirkan skenario baru yang berbahaya. Photo: Suasana pusat Kota Jakarta di tengah pandemi virus corona, dilihat dari kantor perwakilan ABC. (ABC News: Anne Barker)
Terlepas dari segala upaya kami, bagaimana jika kami sakit di rumah, atau salah seorang dari kami mengalami kecelakaan atau patah kaki?
Tidak akan ada akses untuk mendapatkan perawatan. Asuransi kesehatan kami tidak ada artinya.
Tidak akan ada peluang untuk dievakuasi ke Singapura atau Australia.
Sistem layanan kesehatan Indonesia tidak seperti Australia.
Rata-rata hanya ada 12 tempat tidur rumah sakit untuk setiap 10.000 orang, di Australia jumlahnya lebih dari tiga kali lipat.
Indonesia juga hanya memiliki empat dokter untuk setiap 10.000 orang dan tiga tempat perawatan intensif per 100.000 orang. Kemana arah COVID-19 di Indonesia?
Sejumlah ilmuwan Indonesia memproyeksikan angka kasus virus corona untuk bisa mengantisipasi situasi ke depan.
Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan Italia atau Korea Selatan, yang sudah kesulitan menangani epidemi ini.
Hingga kini, puluhan dokter Indonesia telah meninggal, begitu pula dengan perawat.
Jadi, peluang Indonesia untuk mengatasi pandemi ini sangat minim.
Lalu, saat itu pun tiba. Kami duduk di beranda apartemen, di antara beberapa tanaman pot yang kami beli lebih dari setahun yang lalu.
Tanpa banyak bicara, kami sadari betapa pilihan kami hanya satu: kami harus pulang.
Kameramen Phil Hemingway juga sudah lebih dahulu pulang ke Australia.
Secara realistis, mungkin baru enam bulan atau setahun lagi baru kami bisa kembali ke Indonesia.
Hatiku hancur ketika memikirkan apa yang akan terjadi di Indonesia sebelum kami bisa kembali. Photo: Producer ABC di Jakarta Ari Wu saat meliput keterangan pers soal virus corona secara virtual. (ABC News)
Saya meninggalkan rekan-rekan yang penuh dedikasi, yang terus bekerja dari rumah agar biro tetap beroperasi. Juga sahabat-sahabat lainnya yang beberapa di antaranya sudah kehilangan pekerjaan.
Rekan-rekan dari Australia lainnya semua menghadapi keputusan yang sama.
Kami sebenarnya masih berharap dapat tinggal di Indonesia paling tidak satu minggu lagi.
Tapi maskapai penerbangan sudah semakin terbatas cepat dan perbatasan pun mulai ditutup.
Sejumlah turis Australia sudah terlantar di Bali setelah penerbangan dibatalkan. Mereka tidak tahu berapa lama akan terjebak saat itu. Photo: Bagian admin ABC di Jakarta, Yanti, tetap melaksanakan tugasnya dengan mengikuti aturan bekerja dari rumah. (ABC News)
Saat saya menelepon Yanti, manajer kantor biro, kami berdua tak kuasa menahan tangis.
Selama 41 tahun bekerja di ABC di Jakarta, Yanti belum pernah melihat kantor dalam keadaan kosong seperti ini.
Kesedihannya dapat dimengerti, karena dia khawatir kami mungkin tak akan pernah bisa kembali.
Saya meyakinkan mereka, bahwa saya masih menjadi koresponden ABC untuk Indonesia, akan tetap bekerja meski sementara ini berada di Australia.
Kini setelah beberapa saat di Australia, saya justru sudah merindukan rutinitas kantor kami di Menteng, juga kopi Jawa, atau Phil yang cerewet dengan kameranya.
Until we return my friends.
Tunggu sampai kami kembali, kawan.
Ikuti perkembangan terkini soal pandemi virus corona di dunia lewat situs ABC Indonesia
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemenkes Imbau Seluruh RS Tutup Praktik Rutin, Kecuali UGD