7 Alasan Mengapa Kartu Prakerja Koruptif
Oleh: Anton Doni DihenAlhasil, kita semua mendapat jawaban terhadap sejumlah pertanyaan terkait kartu pra kerja melalui peluncurannya sebagai salah satu jawaban terhadap persoalan dampak ekonomi yang dihadapi terkait pandemi Covid 19.
Bentuknya kemudian kelihatan jelas, dengan elemen bantuan uang yang jelas besarannya dan elemen pelatihan yang juga jelas besarannya. Kita tidak tahu, apakah bentuk kartu pra kerja yang diluncurkan pada masa darurat ini sama dengan bentuk aslinya yang dirancang untuk situasi normal.
Keberadaan elemen pelatihan kemudian menjadi daya tarik sendiri, baik karena keberadaan elemen pelatihan itu sendiri maupun besaran bantuan untuk pelatihan dan arah mengalirnya uang melalui kartu tersebut. Walaupun masih banyak pihak yang tidak mempersoalkan komponen kebijakan ini karena bias-bias irasionalitas yang melekat pada kepentingan politik dan budaya fanatisme kita, mulai muncul banyak pihak dan partai politik yang mempersoalkan komponen kebijakan ini.
Bagi saya, jelas sekali bahwa komponen kebijakan pelatihan yang terkandung dalam kartu pra kerja ini merupakan bentuk kebijakan koruptif yang sangat menyayat rasa keadilan dan kepantasan atas beberapa alasan.
Pertama, sebagaimana diargumentasikan banyak pihak, kebutuhan di depan mata untuk penanganan dampak pandemi Covid-19 adalah bantuan uang dan sembako untuk masyarakat terdampak. Sulit membayangkan adanya kebutuhan signifikan akan bantuan peningkatan kompetensi di musim ini.
Kebutuhan bantuan kompetensi untuk beralih dari berjualan secara langsung ke berjualan secara daring sangat terbatas. Dan jika harus belajar berjualan secara daring, pembelajaran tentang itu dapat dilakukan secara mandiri melalui banyak sumber online gratis di internet. Tidak perlu harus melalui vendor pelatihan online yang ditunjuk dengan bayaran satu juta rupiah per orang.
Kedua, sudah jelas dan mestinya tidak perlu dijelaskan lagi, bahwa kehilangan pekerjaan dan kehilangan penghasilan pada musim ini adalah akibat pandemi Covid-19 tersebut dengan segala dampak ekonominya. Tentu saja, dan sangat jelas, bukan karena persoalan kekurangan kompetensi sumber daya manusia pekerja yang diistirahatkan atau di-PHK. Memaksakan diri melihat persoalan ekonomi aktual sebagai persoalan kurangnya kompetensi (atau pelatihan) adalah bentuk kegilaan.
Ketiga, tidak ada sama sekali urgensi pelatihan untuk mengisi masa berkurung diri di rumah dalam struktur urgensi nasional, dibandingkan dengan urgensi untuk memenuhi kebutuhan sembako dan kebutuhan finansial warga. Memaksa diri melihat pelatihan sebagai hal yang mempunyai posisi urgensi tinggi di tengah kebutuhan lain yang mendesak adalah juga bentuk kegilaan.